Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berpotensi memperpanjang masa kerja gugus tugas kajian insentif PNBP. Gugus tugas yang berisi dari Kemenkominfo dan pelaku usaha telekomunikasi ini tengah mencari cara guna menyehatkan industri.
Hingga tenggat 31 Desember 2023, nasib insentif bagi perusahaan telekomunikasi seperti Telkomsel, Indosat, XL Axiata dan Smartfren masih menggantung.
Wakil Ketua Gugus Tugas yang juga Sekjend Atsi Marwan O. Baasir mengatakan masa kerja Gugus Tugas Kajian Insentif PNBP diperpanjang untuk waktu yang belum diketahui. Gugus tugas akan menggunakan waktu tersebut guna menyusun data dan laporan yang lebih detail.
“Diperpanjang dan tunggu surat. Berapa lama perpanjangannya belum diketahui,” kata Marwan kepada Bisnis, Selasa (2/1/2024).
Sebelumnya, Kemenkominfo membentuk gugus tugas untuk menciptakan pemerataan akses telekomunikasi, melalui pemberian kebijakan insentif penerimaan bukan pajak.
Melalui Surat Keputusan Menkominfo no.52/2023 tentang Gugus Tugas Kajian Insentif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Gugus tugas nantinya akan menyiapkan rekomendasi kebijakan insentif PNBP sektor telekomunikasi.
Gugus tugas juga akan melakukan identifikasi kendala serta solusi pemertaan dan peningkatan kualitas layanan jaringan telekomunikasi nasioinal.
Tugas lainnya adalah verifikasi dan analisis terhadap usulan insentif agar dasar pemberian insentif pemerintah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan tetap sasaran.
Untuk diketahui, secara Industri, rasio regulatory charge BHP frekuensi terhadap pendapatan kotor operator sudah sangat tinggi berkisar 11,4% dan menjadi 13,15% jika termasuk BHP Telekomunikasi dan USO. Angka tersebut lebih tinggi dari batas sehat/sustain yaitu 5 – 10%.
Untuk mengatasi gap tersebut, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengusulkan re-formulasi dan redefinisi parameter NKC pada formula NIKICB sehingga besarannya berorientasi pada kesehatan dan keberlangsungan Industri
ATSI juga mengusulkan untuk merasionalisasi rasio regulatory charge BHP frekuensi terhadap pendapatan kotor setiap operator maksimal di bawah 10% termasuk namun tidak terbatas menerapkan BHP AF all band flat sampai masa akhir IPFR,penurunan BHP frekuensi eksisting, penerapan faktor pengurang dengan mempertimbangkan semua biaya capex dan opex yang ditanggung oleh operator dan lainnya.
“Dalam Pengalokasian spektrum frekuensi baru menggunakan mekanisme evaluasi diharapkan pada penetapan BHP frekuensi nya (menggunakan harga NKICB yang sudah disesuaikan), Pemerintah mengedepankan besaran yang terjangkau, sehingga tidak menyebabkan regulatory charge tidak lebih tinggi dari 10%” tulis dalam dokumen tersebut.
Disrupsi OTT
Tidak hanya itu, di tengah beban yang tinggi operator seluler juga dihadapkan dengan disrupsi layanan OTT yang menggerus pendapatan operator sejalan dengan kebijakan yang dikeluarkan.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan di tengah proyeksi pasar OTT global yang mencapai US$260 miliar pada 2023, bisnis operator seluler terus tergerus.
OTT menghadirkan layanan yang memakan pendapatan operator seluler khususnya perihal panggilan suara dan SMS. Alhasil, pendapatan operator tergerus. Ini masih awal. Analis memperkirakan bisnis OTT masih akan tumbuh 10 kali lipat hingga 2030.
“Pesannya adalah pada 2023, market size OTT baru US$260 miliar itu kita sudah tertekan luar biasa. Sementara hampir semua analis mengatakan ini masih akan tumbuh 10 kali lipat sekitar beberapa tahun depan hingga 2030," kata Sigit.
Sigit menjelaskan keberadaan OTT di industri telekomunikasi memang sudah terjadi sejak 15 tahun lalu atau pada 2008. Saat itu pertumbuhan bisnis OTT masih kecil.
Namun seiring dengan peralihan zaman, OTT tumbuh pesat khususnya dalam 3 tahun terakhir.
Oleh sebab itu, pemerintah dinilai perlu untuk turut mengejar pajak dari OTT seiring dengan potensi besar.
“Dalam 3 tahun terakhir ini, sudah melampaui telekomunikasi sementara pertumbuhan pemain telekomunikasi atau sekitar 5 sampai 6%. OTT ya terus naik hingga 10 kali lipat," kata Sigit.
Sigit menambahkan sejalan dengan pertumbuhan bisnis OTT yang besar, beban yang dipikul operator pun bertambah karena mereka harus meningkatkan kapasitas jaringan untuk mengangkut beban lalu lintas data.
Sayangnya, pertumbuhan trafik data tersebut asimetris dengan rata-rata pendapatan yang dibukukan operator dari pelanggan.
“Profitabilitas datar-datat aja. Itu sudah disampaikan 6 tahun lalu dan ini sampai sekarang masih terjadi. Efek gunting penurunan data dibandingkan dengan pendapatan yang dibukukan oleh operator,” kata Sigit.