Bisnis.com, JAKARTA - Perubahan kedua atas Undang-Undang No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diragukan dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Beberapa pasal 'karet' tak banyak alami perubahan. Di sisi lain, penindakan terhadap transaksi digital yang merugikan masyarakat, tetap dibiarkan.
Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec) Tesar Sandikapura menilai undang-undang yang baru masih memiliki pasal karet yang berpotensi disalahgunakan.
Menurutnya, pasal 27 yang mengatur mengenai distribusi atau produksi informasi di ruang digital tak banyak mengalami perubahan, meski sudah dipecah-pecah.
“Intinya yang dipermasalahkan adalah kebebasan berpendapat. Ketika tidak suka terhadap kritikan, dianggap menghina. Poin itu yang harusnya dihilangkan,” kata Tesar, Rabu (6/12/2023).
Dia berpendapat pencemaran nama baik tidak perlu dimasukkan dalam UU ITE. Seharunya, kata Tesar, UU ITE mengatur transaksi yang terjadi di ruang digital seperti penipuan, judi online, hingga pinjol ilegal.
Para pelanggar tersebut, ujar Tesar, wajib dikenakan sanksi sehingga ruang digital Indonesia makin bersih dan terjaga.
“Data orang di sosial media dibuka. Itu seharusnya dikejar. Diperkuat pasalnya. Kekuatan UU ITE tidak terlihat untuk pemberantasan transaksi penipuan atau kejahatan berbahaya lewat online. Jangan terlalu fokus ke konten dan pencemaran nama baik. Itu hubungannya ke kebebasan berpendapat,” kata Tesar.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menjelaskan lima alasan UU ITE perlu dilakukan. Pertama, menurutnya ada penerapan norma-norma pidana dalam UU ITE yang berbeda-beda di berbagai tempat.
Kedua, UU ITE yang ada saat ini belum dapat memberikan perlindungan yang optimal bagi pengguna internet Indonesia.
Menkominfo menyoroti penggunaan produk atau layanan digital dapat memberi manfaat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak jika digunakan secara tepat. Oleh karena itu, penyelenggara sistem elektronik harus mengambil tanggung jawab dalam memenuhi hak-hak anak, sekaligus melindungi anak dari bahaya atau risiko fisik dan psikis.
Ketiga, lanjutnya, pemerintah memperhatikan pembangunan ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi ekonomi digital yang besar, yang diperkirakan akan menyumbang sepertiga potensi ekonomi digital di kawasan ASEAN.
“Melihat besarnya potensi ekonomi digital Indonesia, pemerintah perlu memperkuat regulasi dalam memberikan perlindungan pengguna layanan digital Indonesia dan pelaku UMKM,” jelasnya.
Selanjutnya, Menkominfo menyoroti perkembangan layanan sertifikasi elektronik seperti tanda tangan elektronik, segel elektronik dan autentikasi situs web serta identitas digital.
“Indonesia butuh landasan hukum yang lebih komprehensif dalam membangun kebijakan identitas digital serta layanan sertifikasi elektronik lainnya,” tandasnya.
Budi menegaskan perubahan UU ITE diperlukan berkaitan dengan aspek penegakan hukum. Menurutnya saat ini memerlukan penguatan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam melakukan penyidikan tindak pidana siber, khususnya yang menggunakan rekening bank dan aset digital dalam skema kejahatan.
“Dalam hal ini, PPNS di sektor informasi dan transaksi elektronik (ITE) butuh kewenangan untuk memerintahkan penyelenggara sistem elektronik dalam melakukan pemutusan akses sementara terhadap rekening bank, uang elektronik, dan/atau aset digital,” kata Budi.