Langit tampak kelabu, pertanda hujan akan segera mengguyur Kota Makassar pada Sabtu (25/11), saat Tim Jelajah Sinyal & Festival Literasi Digital 2023 merapat pada sebuah bangunan kecil di Jalan Telkomas, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Dari kejauhan, Elsa—pemilik usaha anyaman eceng gondok Rumah Anyamandiri—tampak sibuk dengan tas-tas anyamannya yang unik nan menarik.
Kehadiran sinyal telekomunikasi dan jaringan internet yang mumpuni telah mampu mendorong pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di kota ini untuk merambah pasar ekspor di berbagai negara.
Ia bercerita bahwa kehadiran jaringan internet yang prima telah memperluas pasar bisnisnya ke sejumlah daerah di Indonesia, bahkan hingga menembus pasar luar negeri a.l Malaysia, Afrika Selatan, Mesir, Vietnam, Turki, hingga Finlandia.
Hal itu ia lakukan dengan memanfaatkan sejumlah platform dagang elektronik. Tak hanya satu, ia memasarkan produknya pada sejumlah platform untuk mengincar pasar yang berbeda sesuai karakteristik aplikasi e-commerce itu.
“Saya memasarkan produk di Facebook, Instagram, marketplace seperti Shopee, terus PaDi UMKM, Blibli. Semuanya dengan nama Rumah Anyamandiri,” kata Elsa saat ditemui Tim Jelajah Sinyal & Festival Literasi Digital di Makassar, Sabtu (25/11).
Kini, Rumah Anyamandiri juga tengah mempersiapkan diri untuk bisa menembus pasar Amerika Serikat dengan memanfaatkan platform dagang elektronik (e-commerce) milik miliader Jeff Bezos, Amazon.
Menurutnya, dengan jaringan telekomunikasi yang mumpuni di Kota Daeng—julukan Kota Makassar—ia pun berencana menembus pasar Negeri Paman Sam.
Rencananya, ia bakal memanfaatkan platform e-commerce Amazon, untuk merealisasikan ekspansi tersebut. Bahkan, ia mengaku telah belajar ke rekan UKM lainnya hingga ke Jawa Barat guna mewujudkan rencana itu.
“Saya mau banget buka akun di Amazon. Saya sempat belajar ke Cirebon, bagaimana kita berjualan di Amazon,” ujar Elsa.
Namun, penjualan secara daring bukanlah satu-satunya strategi yang ia lakukan. Elsa juga masih memasarkan produknya secara luring dengan ikut serta pada pameran-pameran dan di galerinya di Kota Makassar.
Hanya saja, ia tetap mengandalkan teknologi digital dalam penjualan secara luring ini guna mempermudah konsumen dalam bertransaksi. Elsa telah menyiapkan mesin electronic data capture (EDC) guna melayani konsumen yang menggunakan kartu.
Selain itu, ia juga memanfaatkan quick response code (kode QR) bagi konsumen yang ingin bertransaksi menggunakan Quick Response Indonesia Standar (QRIS).
Langkah ini ia lakukan sebagai strategi untuk mengikuti perkembangan zaman sehingga mempermudah konsumen dalam bertransaksi secara nontunai.
Elsa sendiri telah memulai usaha anyaman eceng gondok ini sejak 6 tahun lalu, atau tepatnya 2017. Ia baru menekuni anyaman eceng gondok pada 2015.
Dalam menjalankan usahanya tersebut, Elsa memberdayakan masyarakat sekitar galeri. Saat ini, usaha anyaman eceng gondok Elsa dibantu oleh 10—15 orang pengrajin. “Satu orang bisa membuat 3-4 produk anyaman dalam sehari.”
Kendati demikian, jumlah pekerja itu, belum sebanding dengan jumlah peminat terhadap produk anyaman eceng gondok ini. Bahkan, ia sempat menolak sebanyak 5.000 permintaan pesanan tas eceng gondok dari Turki.
“Tahun lalu sudah dapat pesanan dari Turki 5.000 buah, tetapi belum sanggup karena pengrajinnya belum sanggup,” ujarnya.
Produk-produk anyaman eceng gondok Rumah Ayamandiri ini pun dijual dengan harga yang bervariatif, yakni mulai dari Rp50.000 hingga Rp1 juta. (Nur Hikmah T. Putri)