Bisnis.com, SOE -- Senja turun pada Minggu, 26 November 2023. Sore itu agak istimewa untuk Gusti. Biasanya lelaki 21 tahun itu hanya duduk merenung di kebun sambil minum kopi. Kali ini tidak. Kopi belum diseduh, Afifah dan Hermawan sudah datang mengganggu.
Gusti Nasa yang sedang menyiram tanaman, lekas menaruh selang. Dengan mengenakan baju hitam panjang yang basah karena keringat, tangannya menjulur menyalami Afifah dan Hermawan, Tim Jelajah Bisnis Indonesia.
Di tengah kebun Stroberi yang luas, ketiganya berbagi cerita tentang dampak internet terhadap bisnis Gusti.
Gusti mengaku telah berkecimpung di perkebunan sejak kecil. Maklum. Kedua orang tuanya adalah petani. Tetapi, walaupun sudah lama bercocok tanam, Gusti baru menggunakan internet untuk berjualan pada 2017.
Alasannya sederhana, karena layanan data baru masuk saat itu. Simsalabim penjualan Stroberi Gusti yang berwarna merah, 'menghijau' berkat media sosial.
"Saya jual di Facebook dan story di Whatsapp, itu foto saja untuk Stroberi dan sayur itu ada nama produk dan harga. Sekitar 40% kontribusi ke penjualan keseluruhan," kata Gusti Nasa di Desa Tetaf, Kuatnan, Minggu (26/11/2023).
Untuk diketahui, pertanian menjadi salah satu mata pencarian yang banyak dilakoni masyarakat di Desa Tetaf, Kuatnana, Kab. Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). Termasuk Gen Z, yang melihat potensi besar di sektor pertanian dengan memanfaatkan digitalisasi. Gusti hanya salah satunya.
Sebagai pemuda yang lahir dari keluarga petani, Gusti memiliki impian untuk dapat memasarkan hasil panen nya ke berbagai daerah. Untuk saat ini, sebagian besar hasil tani nya dipasarkan ke Soe dan Nikiniki.
Pemuda berusia 21 tahun itu mampu mengelola 1 hektare lahan yang ditanami sayuran seperti kol, kumbang hingga buah-buahan stroberi.
Hasil panen stroberi untuk 1.000 polybag mencapai 70 kg dengan harga jual Rp60.000 per kg. Omzet penjualan untuk stroberi masih tidak menentu, namun dalam 1 tahun terakhir dia bisa mendapatkan Rp20 juta.
Gusti mengaku sangat terbantu dengan adanya jaringan internet. Digitalisasi membawa berkah pada permintaan pertanian miliknya hingga 80% dibandingkan sebelum menggunakan media sosial.
Dia bermimpi stoberinya dapat terjual lintas kota dan negara, meski realitanya saat ini masih seputar Soe dan Niki-niki, desa kecil di Amanuban Tengah, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
“Bisa berubah, pokonya jangan hanya jual di seputar Soe atau Nikiniki, tetapi juga dipasarkan ke luar daerah," ungkapnya sambil mengangguk.
Mimpi Gusti hakikatnya perlahan coba diwujudkan oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan. Mereka menghadirkan infrastruktur digital sebagai fondasi untuk masuk ke gerbang dunia maya, dunia tanpa batas.
Pada Juni 2022, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) melaporkan dari 421 lokasi yang menjadi target pembangunan, sebanyak 207 lokasi telah terlayani jaringan internet. Bakti terus memacu untuk menambah base transceiver station (BTS) baru agar digitalisasi di NTT dapat tumbuh.
Sementara itu menurut laporan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) penetrasi internet di Nusa Tenggara terus meningkat dari 64,85% pada 2022 menjadi 72,32% pada 2023. Sejalan dengan peningkatan tersebut, kontribusi internet NTT 94 basis points (bps) menjadi 3,65%.
Tingkat penetrasi Internet di Indonesia Timur | |
---|---|
Wilayah | Penetrasi (%) |
Papua | 1,65% |
Maluku | 1,09% |
Nusa Tenggara | 3,65% |
Sulawesi | 6,92% |
Bagi Bakti, kehadiran internet saja tidak cukup. Bakti melihat ada masalah krusial yang harus diselesaikan setelah internet tersebut hadir yaitu mengoptimalkan jaringan internet yang tersedia.
Fadhilah Mathar, Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), mengatakan ,asyarakat harus diberi edukasi dan literasi mengenai pemanfaatan internet beserta perangkatnya, agar berdampak pada produktivitas.
Bakti dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membuat direktorat khusus untuk meningkatkan literasi digital.
Bakti juga berupaya untuk memberikan pelatihan setiap kali ada site atau titik layanan yang telah beroperasi, agar masyarakat dapat menggunakan internet secara bijak.
“Kami juga memperhatikan teknologi kompresi. Bagaimana aplikasi yang digunakan itu adalah aplikasi yang tak membutuhkan kapasitas yang tidak terlalu besar sehingga storage menjadi penting server menjadi penting,” kata Indah yang baru menjabat 3 bulan sebagai Dirut Bakti.
Berdasarkan data yang diterima Bisnis, sejak 2019-2023 Bakti Kemenkominfo sudah melakukan 60 kegiatan untuk meningkatkan literasi digital di daerah tertinggal.
Tahun ini Bakti melakukan kegiatan-kegiatan dalam bentuk sosialisasi, pelatihan, maupun workshop di berbagai sektor prioritas. Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain sosialisasi Seminar
Merajut Nusantara, yang merupakan sosialisasi pemanfaatan infrastruktur digital secara online/hybrid.
Tujuannya dari acara tersebut adalah untuk mendorong dan memberdayakan Masyarakat agar dapat mengoptimalkan pemanfaatan internet terhadap peningkatan perekonomian, sarana edukasi dan sosial kegiatan ini menyasar Masyarakat umum. Hingga Oktober 2023, sosialisasi ini telah dilakukan pada kepada 49.052 peserta.
Bakti juga menggelar kegiatan pelatihan master trainer literasi digital yang mengedukasi para trainer untuk menyebarkan literasi digital lebih luas ke masyarakat lainnya.
Sosialisasi ini dilakukan terhadap 50 master trainer di Halmahera Barat, Maluku Utara dan Sintang, Kalimantan Barat serta 60 trainer master trainer di Sumba Timur dan Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur dengan pengimbasan kepada sebanyak 10.000 masyarakat umum lainnya.
Kegiatan Pelatihan 4 pilar literasi digital di Jayapura, Papua, Sambas, Kalimantan Barat, Sikka, Timur Tengah Utara, dan Timur Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur kepada total 2.200 peserta.
Adapun mengenai target dalam membangun human structure - seperti literasi dan membangun ekosistem digital -, kata Indah, tidak sebanyak seperti target membangun infrastruktur digital. Pasalnya, fokus inti Bakti adalah membangun akses dan konektivitas.
“Misalnya kita membangun sentra produktif dan menanamkan kepada mereka sense (nalar) pemanfaatan digital. Jumlahnya kecil mungkin 500 peserta di daerah 3T, tetapi yang ingin kami kejar adalah Indonesia Maju 2045. Itu tidak bisa terjadi kalau kita tidak menginklusikan desa karena patokannya adalah GDP,” kata Indah.