Bisnis.com, JAKARTA – Startup coworking WeWork Inc. telah mengajukan perlindungan kebangkrutan di pengadilan federal AS, sekaligus mengakhiri kisah bertahun-tahun tentang masa depan perusahaan ini. WeWork dikabarkan alami kerugian ekuitas lebih dari perkiraan senilai $11,5 miliar atau setara Rp179 triliun (kurs: Rp15.643) dan memiliki utang sebesar Rp34,4 triliun.
Seperti dari dailymaverick, Rabu (8/11/2023), startup ini pernah sukses dan didukung oleh SoftBank hingga senilai $47 miliar pada awal tahun 2019. Namun beberapa bulan kemudian, dokumen initial public offering (IPO) atau pencatatan saham perdana mengungkapkan kerugian yang lebih besar dari perkiraan.
Langkah ini mencerminkan pengakuan SoftBank, grup teknologi asal Jepang yang memiliki sekitar 60% saham WeWork dan telah menginvestasikan miliaran dolar dalam perbaikannya. Softbank menyebut perusahaan tersebut tidak dapat bertahan kecuali perusahaan tersebut menegosiasikan ulang sewa yang mahal dalam keadaan bangkrut.
WeWork mengatakan pihaknya telah menandatangani perjanjian restrukturisasi dengan pemangku kepentingan utama untuk secara drastis mengurangi utang yang didanai, dan juga bermaksud untuk mengajukan proses pengakuan di Kanada.
Perusahaan yang berada di luar AS dan Kanada, serta mitra waralaba di seluruh dunia, tidak terpengaruh oleh proses ini. Saham WeWork telah jatuh sekitar 98,5% sepanjang tahun ini.
Profitabilitas tetap sulit dicapai karena WeWork harus menghadapi masalah sewa yang mahal dan pembatalan klien korporat karena beberapa karyawan bekerja dari rumah. Membayar ruang sewa menghabiskan 74% pendapatan WeWork pada kuartal kedua 2023.
Dalam pengajuan tersebut ke pengadilan kebangkrutan New Jersey, WeWork mencatatkan perkiraan aset dan kewajiban dalam kisaran $10 miliar hingga $50 miliar.
"WeWork dapat menggunakan ketentuan undang-undang kebangkrutan AS untuk melepaskan diri dari sewa yang memberatkan,” ujar Firma Hukum Cadwalader, Wickersham & Taft LLP, dilansir Channel News Asia, Rabu (8/11/2023).
Adapun dampak yang ketertarikan terhadap WeWork dan startup lainnya diperbesar dengan komitmen awal sebesar $60 miliar yang dikucurkan oleh dana kekayaan Saudi dan Abu Dhabi ke Vision Fund yang pertama.
Dengan memiliki tekad untuk dapat mencetak unicorn dengan kecepatan sangat tinggi dengan mendorong perusahaan rintisan untuk meningkatkan valuasinya yang meningkat di seluruh dunia, ketika pesaingnya seperti Tiger Global Management dan Sequoia Capital ditekan untuk mengimbangi tuntutan besar Vision Fund.
Analis Astris Advisory Kirk Boodry mengatakan Infus uang tunai dalam jumlah besar mendorong penilaian tinggi dan keangkuhan yang dibuat-buat yang mendahului kehancuran yang akhirnya terjadi.
Di bawah pendirinya Adam Neumann, WeWork tumbuh menjadi startup AS yang paling bernilai, senilai $47 miliar. Hal ini menarik investasi dari investor blue chip, termasuk SoftBank dan perusahaan modal ventura Benchmark, serta dukungan dari Bank-bank besar Wall Street, termasuk JPMorgan Chase.
Upaya Neumann untuk mencapai pertumbuhan yang sangat tinggi dengan mengorbankan keuntungan, dan pengungkapan tentang perilaku eksentriknya, menyebabkan pemecatannya dan gagalnya penawaran umum perdana pada 2019.
WeWork akhirnya go public sekitar dua tahun kemudian dengan valuasi yang jauh lebih rendah, yaitu sekitar $9 miliar AS. Namun pada 2021, sentimen pasar dan kemudahan akses permodalan yang membantu menopang sebagian besar dunia startup sebelum pandemi, mulai bergeser.
Meningkatnya kerugian tersebut untuk menghentikan aktivitas investasi tahun lalu, mengurangi jumlah karyawan Vision Fund dan menerapkan uji tuntas yang lebih ketat.
Pembatasan ini, bersamaan dengan IPO Nasdaq senilai $4,9 miliar yang dilakukan unit perancang chip Arm Holdings Plc pada bulan September, kini memberi pendukung awal kecerdasan buatan ini uang untuk kembali melakukan serangan.
“Kebangkrutan hanya membatasi sisi negatif Vision Fund 1 dan Vision Fund 2,” kata Boodry dari Astris Advisory. (Afaani Fajrianti)