Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat keamanan siber menilai bahwa industri pertambangan perlu membuat tim Computer Security Incident Response Team (CSIRT).
Pakar keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha mengatakan tim tersebut diharapkan dapat memantau keamanan siber di perusahaan tambang dengan lebih lanjut.
"Industri pertambangan dapat membangun tim CSIRT yang dapat memantau kondisi keamanan siber serta bekerja sama dengan lembaga lain seperti BSSN, Kemenkominfo, BIN, dan lain-lain," ujar Pratama kepada Bisnis, Jumat (3/11/2023).
Sebagai informasi, serangan siber pada sektor pertambangan sudah meningkat sejak 2021.
Data dari Indonesia Dark Report yang dibuat Socradar.io menemukan industri yang paling sering diserang ransomware dan datanya mencakup 33,3% atau sepertiga dari jumlah data korban ransomware di dark web.
Berdasarkan catatan Bisnis, sejumlah raksasa tambang lokal maupun internasional pernah terkena dampaknya. Mulai dari Grup Jhonlin dan Harita Group dari Indonesia, hingga BHP, Rio Tinto, dan Fortescue dari mancanegara.
Lebih lanjut, Pratama mengatakan perusahaan pertambangan juga harus mulai menggunakan pendekatan multi-layered security dengan menggabungkan berbagai teknologi dan metode keamanan.
Selain itu, perusahaan juga terus memastikan sistem pemantauan keamanan bekerja dengan baik dan menerapkan Business Continuity Management (BCM).
Hal ini bertujuan supaya tidak terjadi downtime yang membutuhkan waktu penyelesaian sampai berhari-hari.
Terakhir, yang tidak kalah penting menurut Pratama adalah melakukan asessmen secara berkala dan terus menerus terhadap kerawanan serta celah keamanan siber dari sistem yang dimiliki.