Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan rintisan (startup) di Tanah Air masih akan menghadapi periode pendanaan seret tahun ini. Namun, segelintir startup justru sedang dicari-cari pemodal, terutama yang punya visi memajukan desa dan kota kecil.
Co-founder & Managing Partner Gayo Capital (Ideosource Green Initiative) sekaligus Bendahara Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan menjelaskan alasannya karena startup calon winner alias pemenang di sektor teknologi yang terbilang mainstream sudah mulai terlihat.
Misalnya, untuk sektor fintech, ride-hailing, e-commerce, bahkan sampai logistik dan new retail, sudah mengerucut ke beberapa pemain besar. Sementara itu, sektor-sektor seperti pertanian, perkebunan, perikanan, atau berkaitan aktivitas ekonomi wilayah rural lain-lain, belum ada yang terlihat mencolok.
"Penting bagi seorang founder startup menyadari bahwa Indonesia itu unik, karena banyak aktivitas ekonomi di area rural yang sampai saat ini masih dilakukan secara konvensional. Modal ventura pun mulai melirik founder yang bisa membedah value chain di sana, kemudian melakukan disrupsi dalam beberapa aspek," ujarnya kepada Bisnis.com, dikutip, Rabu (5/4/2023).
Oleh sebab itu, menurut Edward, sudah tidak musim lagi mencari founder startup yang terlalu 'Silicon Valley minded', alias sekadar mengimplementasikan pendekatan teknologi untuk menjalankan suatu bisnis.
Modal ventura tengah mencari suatu kombinasi antara pengetahuan dan pemahaman akan potensi perekonomian di berbagai wilayah Tanah Air, dengan pengalaman mereka terjun langsung ke lapangan, ditambah kesabaran membangun model bisnis yang tepat.
Sekadar gambaran, Edward mencontohkan langkah pihaknya sebagai salah satu investor awal startup akuakultur eFishery. Pada kisaran 2014, Edward menyebut belum ada modal ventura besar yang berani menggelontorkan pendanaan ke eFishery karena model bisnis awal mereka yang masih banyak menimbulkan tanda tanya.
Pasalnya, awalnya eFishery hanya berangkat dari bagaimana menciptakan alat untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemberian pakan ikan buat para pembudidaya.
"Jadi kami harus tunggu 4-5 tahun, supaya value chain lain terbentuk. Seperti, akhirnya mulai ada analisis bisnis para pembudidaya ikan, ada distribusi pakan, menciptakan pasar, sampai kemudian fintech dan lembaga keuangan juga terlibat. Sekarang terlihat, modal ventura besar jadi berani masuk mendanai eFishery," jelas Edward.
Artinya, hal serupa bisa dilakukan juga untuk sektor-sektor yang identik dengan wilayah rural lainnya, seperti pertanian, peternakan, atau perkebunan.
Edward mencontohkan bahwa misalnya sampai saat ini petani kopi dan cokelat di Tanah Air masih bergantung pada aggregator atau intermediary dalam hal penjualan dan penciptaan pasar, di mana pemain-pemain besarnya dihiasi perusahaan multinasional, seperti Cargill, Olam, atau Berry Callebaut, dan lain sebagainya.
"Efeknya, para petani kopi dan cokelat di sini harga jualnya sangat bergantung dengan segelintir potential buyer, terutama dari luar. Padahal, kebutuhan pasar dalam negeri sebenarnya besar sekali. Jadi kalau ada startup yang bisa menjembatani hal tersebut, alangkah bagusnya," ungkapnya.
Namun, Edward juga mengakui langkah mengguyur pendanaan kepada startup yang bermain di area rural memiliki banyak tantangan. Mulai dari kesiapan infrastruktur, kapasitas sumber daya manusia (SDM), sampai seberapa tangguh founder startup bersangkutan dalam menghadapi dinamika bisnis ke depan.