Bisnis.com, SOLO - Studi Cisco menyebutkan Indonesia berada di tingkat teratas di dunia dalam hal kematangan keamanan siber.
Sayangnya, hanya 39% perusahaan yang memiliki kesiapan di level ‘matang’ untuk menghadapi risiko keamanan siber modern saat ini, menurut Cybersecurity Readiness Index Cisco.
Indeks ini dikembangkan dengan latar belakang dunia hybrid pasca Covid-19, di mana pengguna dan data harus diamankan dimanapun pekerjaan dilakukan.
Laporan ini menyoroti dimana bisnis berjalan dengan baik dan dimana kesenjangan kesiapan keamanan siber akan melebar jika bisnis global dan pemimpin keamanan tidak mengambil tindakan.
Berjudul Cisco Cybersecurity Readiness Index: Resilience in a Hybrid World, laporan ini mengukur kesiapan perusahaan-perusahaan dalam menjaga daya tahan keamanan siber dalam menghadapi ancaman modern.
Pengukuran ini mencakup lima pilar utama yang membentuk garis dasar pertahanan yang dibutuhkan, yakni identitas, perangkat, jaringan, beban kerja aplikasi dan data, serta meliputi 19 solusi berbeda dalam pilar-pilar tersebut.
Double-blind survey yang dilakukan oleh pihak ketiga independen ini mengajukan pertanyaan ke 6.700 pemimpin keamanan siber sektor swasta di 27 negara untuk menunjukkan solusi mana yang sudah mereka terapkan dan tahap implementasinya.
Perusahaan-perusahaan yang disurvei kemudian dikelompokkan dalam empat tingkat kesiapan, yakni Pemula, Formatif, Progresif dan Matang.
Indonesia pun berada di tingkat teratas dunia dalam hal tingkat kematangan (39%), dengan kinerja jauh di atas rata-rata global 15% terkait kesiapan keamanan siber.
“Keamanan siber terus menjadi prioritas utama pemerintah dan berbagai perusahaan di Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan digital ekonomi tercepat di Asia Tenggara," ujar Marina Kacaribu, Managing Director, Cisco Indonesia.
Sekitar 28% perusahaan di Indonesia berada di tingkat Pemula atau Formatif. Meskipun kondisi organisasi di Indonesia lebih baik dibandingkan rata-rata global, jumlahnya masih sangat rendah, mengingat risikonya.
Sehingga kesenjangan kesiapan ini terlihat jelas, karena 96% responden memperkirakan insiden keamanan siber akan mengganggu bisnis mereka dalam 12 hingga 24 bulan ke depan.
Biaya yang dikeluarkan karena ketidaksiapan bisa sangat besar, karena 55% dari responden mengaku mengalami insiden keamanan siber dalam 12 bulan terakhir, dan 35% dari mereka yang terdampak mengatakan insiden tersebut merugikan setidaknya USD500,000.
“Peralihan ke dunia hybrid pada dasarnya telah mengubah lanskap bagi perusahaan-perusahaan dan menciptakan kompleksitas keamanan siber yang bahkan lebih besar. Organisasi-organisasi harus berhenti melakukan pendekatan pertahanan dengan menggabungkan alat-alat dengan fungsi khusus, dan sebagai gantinya mempertimbangkan platform terintegrasi untuk mencapai ketahanan keamanan sekaligus mengurangi kompleksitas,” ucap Jeetu Patel, executive vice president dan general manager of security and collaboration Cisco.
Menurut Jeetu, para pemimpin bisnis harus menetapkan garis dasar ‘kesiapan’ di lima pilar keamanan untuk membangun organisasi yang aman dan tangguh.
Hal ini juga akan berpengaruh terhadap peningkatan anggaran keamanan untuk waktu yang dibutuhkan ke depannya.