Bisnis.com, JAKARTA - Dunia sedang berubah, yang tadinya berada di era industri kini masuk ke era digital. Tidak ada sektor kehidupan yang bisa bersembunyi dari perkembangan digitalisasi. Perlunya transformasi digital menemukan momentum yang sangat pas saat kita menghadapi pandemi Covid-19.
Selain menyelamatkan kita untuk tetap bisa work from home, belajar jarak jauh, berbelanja dan berjualan secara online di tengah keterbatasan gerak dan jarak, di masa pandemi pula kita mengetahui bahwa banyak wilayah yang ketersediaan infrastruktur digitalnya belum memadai. Ada kesenjangan digital terjadi.
Kesenjangan digital di mana infrastruktur digitalnya sangat minim bahkan masih blank spot. Terlihat jelas antara infrastruktur digital di wilayah Indonesia Barat dengan Indonesia Timur, kemudian antara kota dengan desa dan juga wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
Persoalan kesenjangan digital dan perlunya upaya strategis untuk menjadikan seluruh wilayah Indonesia Merdeka Sinyal menjadi tantangan tersendiri, bukan saja persiapan bilamana pandemi jenis lain terjadi lagi, tapi juga untuk mewujudkan mimpi Indonesia menjadi negara ekonomi digital terbesar di kawasan dan menjadi digital hub dunia.
Menurut penelitian Google, Temasek, dan Bain & Company, ekonomi digital Indonesia akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara sampai 2030. Dengan compounded annual growth rate (CAGR) 19 persen, diprediksi pada 2030 nilai ekonomi digital Indonesia mencapai kisaran 220—236 miliar dolar AS. Prediksi tersebut tentu masih sebatas di atas kertas dan bisa jadi tidak akan tercapai jika persoalan infrastruktur digital tidak terselesaikan secara cepat dan menyeluruh. Apalagi jika melihat laporan Speedtest Global Index dari Ookla di 2022 yang menempatkan Indonesia tertinggal jauh di bawah Brunei Darussalam, Singapura, Vietnam, Thailand, Malaysia, Laos, dan Filipina. Indonesia hanya unggul di atas Kamboja.
Langkah Strategis
Bank Dunia (World Bank) melaporkan kesenjangan digital akan akses internet di Indonesia masih begitu lebar. Data kesenjangan digital juga diungkap Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika. Masih ada 12.548 dari total 83.218 desa dan kelurahan yang belum terjangkau layanan seluler 4G.
Akses akan internet kini dianggap sebagai bagian dari hak asasi manusia. Untuk itu, kesenjangan digital harus dikurangi atau bahkan dihilangkan. Sehingga, perlu ada strategi menjawab tantangan kesenjangan digital tersebut dan menghadirkan sinyal di seluruh pelosok. Bahkan, inklusi digital harusnya dilihat secara lebih luas yang mencakup availability (ketersediaan infrastruktur digital), affordability (keterjangkauan tarif), quality (layanan berkualitas), security (keamanan siber dan perlindungan data) dan tak ketinggalan adalah pembangunan sumber daya manusia karena merekalah penyedia, penggerak dan pengguna perkembangan digital.
Khusus mengenai ketersediaan infrastruktur, ada layer jaringan backbone (tulang punggung) internasional, backbone nasional, dan akses. Untuk backbone internasional, diperlukan jaringan transmisi yang menghubungkan jaringan nasional ke gateway internet dunia atau biasa disebut Tier-1. Saat ini memang kian banyak penyedia jaringan internasional, tetapi jalur alternatif dengan beragam pintu masuk dan ke luar wilayah RI diperlukan agar jika terjadi bencana alam, maka koneksi Indonesia ke internet dunia tetap lancar.
Untuk backbone nasional, sudah banyak juga dibangun oleh penyelenggara telekomunikasi, termasuk oleh Bakti Kominfo lewat Palapa Ring. Namun memang, banyak wilayah yang backbone-nya masih belum ada atau kapasitas belum besar. Kolaborasi pembangunan jaringan antara penyelenggara telekomunikasi dan pemerintah diperlukan. Karena banyak wilayah tidak komersial dan penyelenggara telekomunikasi enggan membangun, maka peran pemerintah diharapkan lebih berada di depan. Dan untungnya Kominfo melalui Bakti tanggap dan berencana segera melanjutkan jaringan Palapa Ring dengan Palapa Ring Integrasi, yang akan membangun 11.610 Km kabel serat optik nasional di 14 provinsi dan 78 kabupaten/kota.
Langkah berikutnya adalah bagaimana strategi BTS operator telekomunikasi sampai ke desa-desa atau internet masuk ke rumah-rumah. Sebenarnya strategi pembangunan BTS 4G di desa-desa yang belum tersentuh layanan broadband, strategi yang menarik. Apalagi hampir semua dikerjakan pemerintah. Namun sayang memang, penyelesaiannya agak terkendala. Padahal akselerasi diperlukan untuk mengejar ketertinggalan.
Membangun di Indonesia, baik jaringan backbone hingga ke BTS, memang tantangannya banyak. Dari soal geografis, topografis, keamanan, transportasi, ketersediaan listrik, perizinan, dan bagaimana masyarakat setempat memandang proyek yang ada. Kunci dari menghadapi tantangan tersebut adalah kolaborasi semua stakeholders dan adanya e-leadership. Kalau semua bahu-membahu harusnya tidak ada persoalan bangsa yang tidak bisa diselesaikan.
Yang juga penting adalah bagaimana cara pandang kita semua terhadap pembangunan infrastruktur yang dilakukan haruslah sama, yaitu upaya menyediakan akses internet broadband bagi semua rakyat atau Merdeka Sinyal Broadband, bukan dengan cara pandang “proyek” yang artinya ada cuan di dalamnya. Dan setelah Merdeka Sinyal Broadband terwujud, tujuannya akhirnya juga bukan sekadar ada sinyal, tapi kita berharap ini bisa menggerakkan masyarakat menjadi lebih kian sejahtera serta harapan Indonesia menjadi 10 negara ekonomi terkuat di dunia pada 2030 dan 5 besar di 2045, menjadi negara ekonomi digital terbesar di kawasan dan digital hub dunia dapat terwujud. Semoga.