"Kalau dibuat jadi satu tentunya belum bisa karena masalah terkait dengan pajak misalnya dibandingkan dengan aplikasi yang berkaitan dengan kehutanan tentunya akan berbeda," ujar Bhima.
Dengan begitu, menurutnya aplikasi yang bisa disatukan adalah yang memiliki fungsi pelayanan masyarakat, sehingga nantinya modelnya bisa seperti Online Single Submission (OSS). Sedangkan aplikasi yang berkaitan dengan teknis belum tentu perlu untuk disatukan jadi super app, seperti aplikasi pendataan wilayah dan lainnya.
"Jadi yang hanya berkaitan dengan pelayanan atau kebutuhan publik itu bisa dijadikan satu. Itu bagus untuk penghematan biaya. Memang harus didukung dan dipercepat," imbuh Bhima.
Senada, ahli keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha menilai pemerintah harus menentukan terlebih dulu mana aplikasi yang bisa digabung dan mana yang tidak. Dia juga berharap super app ini nantinya tidak membuat masyarakat bingung, karena fungsinya terlalu banyak.
Bukan itu saja, menurutnya super app ini nantinya bisa juga lebih dari satu, sesuai dengan fungsinya masing-masing. Misalnya, super app data kependudukan, akan bekerja sama dengan Dukcapil, lalu bisa digabung dengan aplikasi Pedulilindungi dan juga terhubung Badan Pusat Stastistik (BPS).
"Atau, bisa juga terhubung dengan Kementerian Sosial karena terkait dengan data Bansos contohnya, sehingga nanti di aplikasi tersebut akan jelas mana yang berhak menerima bansos, dan mana yang tidak berhak menerima bantuan masyarakat miskin," imbuh Pratama.
Lebih lanjut dia berharap, ujung dari penggabungan aplikasi ini adalah data yang dipakai akan sama semua. Dengan demikian, rencana penggabungan 24.400 aplikasi milik pemerintah ini juga seharusnya mendapatkan persetujuan presiden terlebih dahulu.
Meskipun sifatnya teknis, Pratama menilai presiden minimal harus mengetahuinya. Sebab, yang akan digabungkan adalah layanan-layanan dari seluruh kementerian dan lembaga.
"Beberapa hal lain yang harus diperhatikan mengenai rencana tersebut adalah siapa penanggung jawabnya, apakah nanti akan dibentuk tim gugus tugas atau tim lain perlu diperhatikan dan adanya pusat data nasional serta keberadaan Sumber Daya Manusia [SDM] khusus untuk menangani super app tersebut," sebutnya.
Mengingat super app ini nantinya berbasis data dari hampir seluruh masyarakat, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mengingatkan pemerintah memerhatikan 11 parameter yang digaris bawahi dalam proses transformasi digital.
Dari sudut keamanan siber, lanjut dia, integrasi puluhan ribu aplikasi jadi satu super app memiliki risiko yang belum diketahui ujung pangkalnya, mengingat minimnya sejarah pengembangan aplikasi-aplikasi tersebut.
"Coding-coding aplikasi tesebut juga tidak ada yang mengetahuinya secara persis sehingga ini jadi risiko tersendiri. Pengembangnya juga tidak ada yang tahu apakah sudah memiliki standar kompetensi kepatuhan menajemen keamanan data yang diakui mm sertifikasinya berdasarkan standar internasional atau belum," kata Ardi.