Bisnis.com, JAKARTA - Perolehan dana GoTo dari initial public offering (IPO) ke depan dinilai harus dialokasikan untuk menyejahterakan para mitra termasuk mitra pengemudi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut, GoTo cukup tepat dalam memilih momentum IPO, karena pelonggaran mobilitas mulai dilakukan di Indonesia. Dengan itu artinya kenaikan permintaan untuk ride-hailing, pesan-antar makanan-minuman dan e-commerce juga diprediksi tinggi.
"Nanti tinggal alokasi dana yang diperoleh dari investor publik digunakan sebagai pengembangan layanan," ujarnya, Selasa (15/3/2022).
Menurut Bhima, GoTo juga perlu menunjukkan komitmen terhadap hubungan dengan mitra pengemudi yang saling menguntungkan. Dana hasil IPO seharusnya berkorelasi dengan kesejahteraan dari para mitra, misalnya dengan menaikkan bonus performa pengemudi.
Dia menjelaskan, bagi investor khususnya asing, keberpihakan aplikator terhadap kesejahteraan mitra pengemudi atau driver merupakan nilai tambah, sebelum mereka memutuskan berinvestasi. "Standar ESG (Environment, Social & Governance) harus menjadi kriteria penting bagi GoTo," ujarnya.
Di sisi lain, Bhima mengatakan, saat ini memang ada kekhawatiran, bahwa kecenderungan IPO perusahaan digital hanya untuk exit strategy investor dan founder.
Namun menurutnya, keraguan itu harus dijawab GoTo lewat transparansi penggunaan dana investasi. "Karena nantinya menjadi perusahaan publik, maka investor wajib tahu ke mana arah pengembangan GoTo, apakah berkorelasi dengan kinerja serta dengan kenaikan GMV misalnya," ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan, GoTo perlu tetap mempertahankan dominasi sebagai platform aplikasi super. Hal itu karena banyak aplikasi yang terlanjut IPO, setelah itu hilang dari persaingan karena "mengidap sindrom" kelebihan likuiditas.
Di kondisi itu, dia melanjutkan, kelebihan likuiditas justru digunakan untuk biaya pemasaran, pembelian bangunan, atau pengembangan lini bisnis yang tidak berkorelasi dengan bisnis utamanya. "Saya harap GoTo berbeda," ujarnya.
Sementara itu, Bhima mengatakan, publik wajar jika skeptis terhadap masa depan GoTo, tetapi tidak bisa menyamakan antara Bukalapak dan GoTo.
Menurutnya, kesalahan Bukalapak adalah strategi diferensiasi dengan masuk ke segmen warung dan pengguma diluar pulau Jawa yang ternyata tidak mudah. Ditambah kondisi kenberadaan pemain sejenis yang cukup banyak.
"Alhasil bisnis e-commerce Bukalapak sebenarnya kalah dari pesaing seperti Shopee dan GoTo sehingga strategi exit yang diterapkan justru keluar dari bisnis intinya," ujar Bhima.
Dia mengatakan, Harga saham IPO Bukalapak Rp850 per lembarnya, terbilang over value untuk pemain yang tidak termasuk Top-3 platform e-commerce. Sementara GoTo dengan harga di kisaran Rp300 per lembar masih lebih menarik, dan jelas Tokopedia maupun Gojek merupakan pemain tingkat atas baik di ride hailing maupun e-commerce.