Bisnis.com, JAKARTA – Megathrust Selat Sunda (MSS) merupakan segmen dari Megathrust Sunda. Ditafsirkan bahwa zona subduksi di Selatan Ujung Kulon - Pelabuhan Ratu sedang membangun tekanan dan jika dilepaskan sekaligus dapat berpotensi memicu gempa bumi dengan kekuatan sekitar Mw 8,7.
Zona subduksi atau zona konvergensi antara lempeng samudra dan lempeng benua menjadi wilayah yang paling aktif secara kegempaan. Pensesaran yang terjadi zona subduksi memiliki mekanisme sesar naik berdimensi besar yang kita sebut dengan megathrust.
Di Indonesia tepatnya di wilayah barat, terdapat sistem Megathrust Sunda yang merupakan zona konvergensi antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Megathrust Sunda sendiri membentang sepanjang 5.500 km, mulai dari Laut Andaman ke selatan, melengkung di sekitar sisi barat dan selatan Sumatera, menuju ke selatan Jawa, Bali Nusa Tenggara hingga barat laut Australia.
Zona Megathrust Sunda di wilayah Indonesia oleh Irsyam dkk. (2017) dibagi ke dalam 10 segmen, dimana salah satu diantaranya merupakan Segmen Selat Sunda. Segmen Megathrust Selat Sunda yang selanjutnya disebut MSS, berada di zona transisi antara dua mode subduksi, yaitu Subduksi Sumatra yang miring (oblique) dan Subduksi Jawa yang frontal.
Kebanyakan gempa bumi besar dengan magnitudo 6,0 ke atas berasal dari megathrust dan beberapa diantaranya menyebabkan kerusakan hingga memicu tsunami. Salah satu gempa megathrust yang pernah terjadi adalah gempa bumi di tahun 2004, dimana gempa tersebut menyebabkan tsunami dan menghancurkan Aceh serta beberapa negara. Diketahui, gempa megathrust dari salah satu segmen (Aceh-Andaman) pada Megathrust Sunda.
Segmen MSS pun memiliki potensi untuk menghasilkan gempa bumi besar dan mengancam wilayah sekitarnya, termasuk kawasan Selat Sunda, bagian barat Pulau Jawa dan ujung selatan Pulau Sumatra. Diduga, Segmen MSS menjadi penyebab dari dua gempa bumi merusak, yang berdampak hingga ke wilayah Jakarta pada 5 Januari 1699 dan 9 Januari 1852.
Sementara tiu, berdasarkan kajian geodesi, Hanifa dkk. (2014) menafsirkan bahwa saat ini zona subduksi di selatan Ujung Kulon-Pelabuhan Ratu tengah membangun tekanan dan bila dilepaskan sekaligus, dapat berpotensi memicu gempa bumi dengan kekuatan sekitar Mw 8,7.
Melihat dampak yang dapat ditimbulkan oleh MSS, Amalfi Omang bersama rekan-rekannya kemudian melakukan analisis bahaya gempa bumi dengan menggunakan teknik pemodelan deterministik dari sumber Megathrust Selat Sunda (MSS), yang hanya mempertimbangkan skenario kritis dengan mengasumsikan terjadinya gempa bumi kredibel maksimum (MCE) pada jarak terdekat yang mungkin ke lokasi.
Adapun pemodelan bahaya gempa bumi deterministik dilakukan di lokasi penelitian yang secara administratif mencakup wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, sebagian besar Lampung serta sebagian kecil Bengkulu dan Sumatera Selatan, untuk mengestimasi besarnya guncangan.
Pusat gempa bumi MSS yang dimodelkan tersebut berada pada koordinat 105,079° BT dan 6,292° LS, di kedalaman 50 km, dengan magnitudo M8,7. Sementara itu, pemodelan bahaya gempa bumi dengan kekuatan M8,7 yang bersumber dari MSS dilakukan pada batuan dasar dan tanah permukaan.
Hasil pemodelan kemudian memperlihatkan bahwa jika terjadi gempa bumi sesuai dengan skenario model, maka wilayah barat daya Banten dan Jawa Barat diperkirakan akan mengalami guncangan PGA (peak ground acceleration)hingga 0,74 g atau berpotensi mengalami guncangan dengan intensitas hingga IX MMI (Modified Mercalli Intensity). Guncangan gempa juga berpotensi dirasakan hingga wilayah Jawa Tengah, namun dengan intensitas yang lebih kecil yakni V MMI kebawah.
Sebagai informasi, mengutip laman resmi BMKG, Selasa (8/2/2022), MMI (Modified Mercalli Intensity) atau skala Mercalli merupakan satuan untuk mengukur kekuatan gempa bumi. Skala dibuat dari I hingga XII. Semakin ke atas, maka kekuatan gempa semakin besar hingga dapat menyebabkan kerusakan dan terlemparnya benda-benda. Sebaliknya, bila angka semakin ke bawah, maka kekuatan gempa semakin kecil, bahkan getaran tersebut tidak dapat dirasakan.
Selain itu, mereka juga menjelaskan bahwa struktur bawah permukaan suatu cekungan sedimen dapat sangat memengaruhi besarnya guncangan gempa bumi. Salah satunya adalah Jakarta dan Bandung yang berdiri di atas cekungan sedimen tebal.
Oleh karena itu, para peneliti mengatakan penting untuk melakukan penilaian bahaya guncangan berdasarkan potensi gempa bumi di suatu wilayah, khususnya di kota-kota besar.
“Pada tahap selanjutnya, perencana kota memainkan peran untuk memasukkan parameter bahaya dan risiko untuk mengimplementasikan perencanaan berbasis risiko. Setelah itu, insinyur sipil bekerjasama dengan pemerintah untuk melakukan mitigasi struktural dengan memastikan setiap bangunan dan infrastruktur dibangun dengan memperhatikan risiko gempa bumi,” tulis mereka.
Analisis ini dipublikasikan dalam buku “Dinamika Geologi Selat Sunda Dalam Pembangunan Berkelanjutan” dengan judul “Analisis Gempa Bumi Megathrust Selat Sunda” oleh Badan Geologi pada 2019.