Turunkan Kabel Udara, Operator Telekomunikasi Bisa Dapatkan Ganti Rugi

Thomas Mola
Rabu, 25 Agustus 2021 | 15:52 WIB
Pekerja melakukan proses bongkar muat kabel serat optik proyek Palapa Ring Paket Timur di Depo PT. Communication Cable Systems Indonesia (CCSI), Cilegon, Banten, Selasa (5/6/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Pekerja melakukan proses bongkar muat kabel serat optik proyek Palapa Ring Paket Timur di Depo PT. Communication Cable Systems Indonesia (CCSI), Cilegon, Banten, Selasa (5/6/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA -- Operator telekomunikasi berpeluang mendapatkan ganti rugi dari upaya membereskan kabel udara ke bawah tanah yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Hal itu merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. 

Henry Darmawan Hutagaol, Pengajar Hukum Administrasi Negara dan Hukum Keuangan Negara, Universitas Indonesia mengatakan terdapat beberapa isu hukum untuk Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) jaringan air, listrik, telekomunikasi telepon atau Internet. 

Dia memaparkan merujuk pada pasal 70 PP Nomor 52 tahun 2000, penyelenggara telekomunikasi berhak atas ganti rugi sebagai akibat pemindahan atau perubahan jaringan telekomunikasi karena adanya kegiatan atau atas permintaan instansi/ departemen/ lembaga atau pihak lain.

"Pemindahan kabel udara diminta Pemprov DKI. Mengacu Pasal 70 PP 52/2000 Pemprov DKI harus memberikan ganti rugi ke perusahaan telekomunikasi," ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (25/8/2021).

Henry menjelaskan di beberapa daerah ada pemda yang menerapkan sewa untuk SJUT, ada yang mengenakan sewa untuk tanah untuk penggelaran kabel fiber optic, ada juga yang menganggap tiang fiber optic sebagai bangunan sehingga harus mengurus IMB agar dapat dikenakan retribusi dan sewa. 

“Isu hukum lainnya yang tak kalah mengganjal, siapa yang bertanggung jawab memungut sewa SJUT. Apakah yang memungut pemda atau badan usaha yang ditunjuk pemda,” katanya.

Henry melanjutkan merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 25 tahun 2009, tentang Pelayanan Publik disebutkan, negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945. 

Pada pasal 5 dijelaskan, kebutuhan dasar tersebut itu meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.

Selain itu, UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi disebutkan, jaringan telekomunikasi dapat memanfaatkan/melintasi tanah negara, bangunan milik/dikuasai pemerintah. Pemanfaatan atau perlintasan tanah negara dan atau bangunan. Termasuk melintasi sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar, serta menggunakan bahu jalan.

Dalam pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi tersebut dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Namun ada pemda yang menafsirkan perizinan ini dikaitkan dengan pembayaran kontribusi. Harusnya pemda tidak boleh menafsirkan lain. Perizinan ya perizinan saja, jangan dikasih embel-embel lainnya," katanya. 

Henry melanjutkan pada UU nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah Retribusi Daerah mengatur Pemda untuk memungut pajak dan retribusi. Retribusi yang dimaksud yaitu pemakaian kekayaan daerah seperti penyewaan tanah dan bangunan, laboratorium, ruangan, dan kendaraan bermotor. 

Dia menjelaskan UU itu mengecualikan pengenaan retribusi termasuk sewa tanah selama kegiatan tersebut tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut. Pada penjelasannya, penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah, antara lain, pemancangan tiang listrik/telepon atau penanaman/pembentangan kabel listrik/telepon di tepi jalan umum.

“Sehingga pemancangan tiang dan menanam kabel untuk listrik atau telekomunikasi tidak termasuk objek retribusi dan sewa. Pemda tidak berhak menarik retribusi dan sewa," katanya.

Henry melanjutkan pada PP 46/2021 tentang Pos Telekomunikasi Penyiaran yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja, juga memberikan kemudahan penggelaran jaringan telekomunikasi. 

Pada pasal 21 menyebutkan, dalam penyelenggaraan telekomunikasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berperan menyediakan fasilitas untuk digunakan operator telekomunikasi secara bersama dengan biaya wajar berupa tanah, bangunan dan/atau infrastruktur pasif telekomunikasi.

Menurutnya, pungutan jangan sampai membuat usaha tidak kompetitif atau justru malah membebankan masyarakat. Jika ada pungutan, itu sekedar mengganti biaya pembangunan dan maintenance atau bukan mencari keuntungan. 

Henry berpendapat sejatinya pembangunan SJUT untuk memberikan pelayanan ke masyarakat. Untuk itu, biaya SJUT itu harusnya tidak masuk dalam target pendapatan daerah. SJUT harus dijadikan pengeluaran untuk memberikan pelayanan masyarakat. 

“Jika dijadikan target pendapatan, maka akan membebani masyarakat. Jika SJUT gratis, harga barang dan jasa ke masyarakat jadi lebih murah," katanya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Thomas Mola
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper