Bisnis.com, JAKARTA – Selain memberikan tingkat latensi yang lebih rendah, pusat data dengan jenis Edge juga memiliki keandalan layanan. Alhasil, kemampuan yang diberikan tak akan jauh berbeda dengan pusat data berukuran besar.
Sekjen Asosiasi Penyelenggara Data Center Indonesia (IDPRO) Teddy Sukardi mengatakan istilah Edge lahir karena ada pusat data yang biasanya memiliki jarak jauh, hadir lebih dekat dengan pelanggan.
Ukuran pusat data dan jenisnya tidak menunjukkan kualitas layanan. Pusat data kecil bisa saja memiliki karakter dan kualifikasi keandalan yang tinggi, begitupun sebaliknya.
“Pusat data yang besar bisa saja mengalami gangguan-gangguan layanan yang kalau kita cermati cukup banyak terjadi selama ini, sehingga cukup lazim perusahaan menggunakan lebih dari 1 penyedia layanan pusat data,” kata Teddy kepada Bisnis, Selasa (13/7/2021).
Teddy menambahkan pusat data kecil akan terus diperlukan untuk berbagai layanan aplikasi dan data yang sifatnya lebih lokal, salah satunya dengan aplikasi yang butuh latensi rendah.
Sebagai gambaran, pengguna aplikasi transportasi online akan kesulitan dalam memesan kendaraan atau makanan jika latensinya tinggi. Bisa saja kendaraan yang seharusnya sudah mau sampai, tampil di layar gawai masih sangat jauh. Alhasil, pengguna aplikasi merasa tidak puas dan berisiko beralih ke aplikasi lain.
Teddy juga mengatakan bisnis pusat data akan selalu terkait dengan jaringan baik jaringan lokal maupun jaringan global.
“Menurut saya pertumbuhan data center itu berbanding lurus dengan digitalisasi pada tingkat perorangan dan organisasi-organisasi,” kata Teddy.
Dia memperkirakan ke depan bisnis pusat data akan memasuki persaingan yang ketat dengan kombinasi tingkat layanan dan biaya. Layanan pusat data akan makin baik dan terukur, sehingga para pemain pusat data akan menawarkan harga yang terjangkau kepada masyarakat.
“Kalau nanti kualitasnya sudah sangat bersaing satu sama lain maka harga akan menjadi di arena persaingan,” kata Teddy.
Teddy juga berpendapat ke depan perusahaan pusat data akan berlomba membuat pusat data yang ramah lingkungan. Di luar negeri, pusat data ramah lingkungan sudah menjadi persyaratan dalam pemilihan pusat data oleh perusahaan mitra.
Ia mengatakan secara umum tantangan pengembangan pusat data di Indonesia berkutat pada energi. Indonesia, menurutnya, memiliki banyak keunggulan geografis seperti dalam mencari lahan dan ketersediaan sumber energi alternatif.
Sayangnya, ketersedian sumber alternatif itu belum memiliki regulasi pendukung. Energi menjadi unsur terpenting dalam bisnis pusat data karena bisnis pusat data sangat terukur dan bila ada masalah, maka pengenaan denda akan berlaku.
“Adanya sumber energi alternatif harus diikuti juga dengan regulasi dan strategi energi nasional yang mendukung,” kata Teddy.
Sekadar informasi, dalam membangun pusat data, sebuah perusahaan akan merujuk pada standar TIA-942, yaitu sebuah petunjuk membangun pangkalan data berbasis performa yang dikehendaki oleh proses bisnis.
TIA-942 membagi menjadi 4 kriteria tier yaitu tier I yang meliputi 1 jalur energi dan distribusi pendingin dengan tingkat ketersediaan layanan 99,671 persen. Kemudian tier II, perangkat yang ada di tier I ditambahkan jaringan cadangan sehingga tingkat ketersediaan jaringan menjadi 99,741 persen.
Setelah itu tier III terdiri dari beberapa jalur energi dan satu mesin pendingin aktif beserta sistem cadangannya, dengan tingkat ketersediaan layanan 99,982 persen.
Terakhir, tier IV dengan beberapa jalur energi, sistem pendingin, sistem cadangan dan komitmen sistem berjalan tanpa berhenti meski ada kerusakan. Pada tier IV ini tingkat ketersediaan layanan adalah 99,999 persen.