'Misi Mustahil' Bakti di Balik Satelit Multifungsi Satria

Leo Dwi Jatmiko
Sabtu, 10 Juli 2021 | 18:34 WIB
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate memberikan sambutan saat acara penandatanganan kerja sama pembangunan satelit Satria di Jakarta, Kamis (3/9/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate memberikan sambutan saat acara penandatanganan kerja sama pembangunan satelit Satria di Jakarta, Kamis (3/9/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Kehadiran Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) untuk menekan kesenjangan digital di wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal atau 3T ibarat mengemban misi mustahil.

Bagaimana tidak, selama lebih dari 20 tahun bermacam operator telekomunikasi sudah lebih dulu eksis. Nyatanya, hingga saat ini masih banyak wilayah yang belum mendapatkan akses internet.

Bakti mendapatkan tugas untuk membangun infrastruktur telekomunikasi sebagai jalan untuk menuntaskan misi tersebut. Salah satunya adalah dengan menghadirkan Satelit Multifungsi Satria.

Rencananya, satelit yang mengorbit pada kuartal III/2023 ini akan menyebarkan layanan internet sebesar 150 Gbps ke 150.000 titik, dengan kuota data hingga 30,37 juta GB per bulan. Dengan catatan, satelit beroperasi 15 jam/hari.

Jika dilihat secara kuantitas, pasokan data yang dikeluarkan memang terlihat besar. Akan tetapi, apabila total data tersebut dibagikan secara rata kepada penerima manfaat menjadi sangat kecil.

Bakti mencatat dari target 93.900 sekolah dan pesantren, terdapat 16,9 juta calon penerima layanan internet Satria. Kemudian di sektor pemerintahan daerah terdapat sekitar 8,6 juta calon pengguna yang siap memanfaatkan akses.

Lebih lanjut, untuk sektor kesehatan terdapat 555.000 calon pengguna, dan untuk sektor keamanan serta pelayanan publik diperkirakan terdapat sekitar 450.000 calon pengguna.

Alhasil, setelah semua sektor dijumlahkan terdapat 26,52 juta calon penerima internet dari Satria. Dengan total permintaan tersebut, diperkirakan rata-rata per pengguna hanya akan mendapat kuota sebesar 1,14 GB setiap bulan.

Kuota data sebesar itu hanya sanggup untuk melakukan aktivitas konferensi video selama 2 jam. Padahal, dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini, kita bisa melakukan aktivitas konferensi video beberapa kali dalam sehari.

Direktur Utama Bakti Anang Latif mengatakan dari angka tersebut, terdapat celah antara suplai data dari satelit dengan permintaan. Merujuk data Telkomsel pada 2019, rata-rata pelanggan seluler per individu mengkonsumsi data sebesar 5,2 GB per bulan.

Pada 2023, prediksi Bakti, rata-rata konsumsi paket data per pelanggan per bulan mencapai 41-50 GB, dengan rata-rata pertumbuhan per tahun selama periode 2019 -2025 sekitar 45-76 persen.

Sementara itu, pada 2023 pelanggan Satria hanya mendapatkan 1,14 GB per bulan. Diperkirakan daerah 3T sulit untuk berkembang, karena bagaimana pun pertumbuhan pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya memiliki hubungan dengan penggunaan data.

“Apalagi sekarang terlihat penggunaan untuk Zoom saja, selama 1 jam butuh sekitar 800 Mb. Inilah yang perlu diperhatikan,” kata Anang dalam koferensi virtual.

Anang mengatakan jika Indonesia bertahan dengan menggunakan satu satelit untuk melayani 26,5 juta pengguna, maka daerah 3T tetap akan tertinggal, karena rata-rata pengguna seluler pada 2023 telah mengosumsi data sebesar 50 GB atau sekitar 40 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan konsumsi data penghuni di 3T.

Satria 2 dan Satria 3
Anang menambahkan jika ditambahkan dengan Satria 2 yang membawa kapasitas sebesar 300 Gbps dan Satria 3 dengan kapasitas 500 Gbps, maka rata-rata per pengguna per GB yang diterima setiap bulan mencapai 7,25 GB. Dengan catatan, pada 2030 - saat Satria 2 dan 3 diproyeksikan telah meluncur - jumlah penerima internet di wilayah 3T masih 26,5 juta.

Anang berharap pada 2030 secara perlahan jaringan 4G telah masuk ke daerah 3T, sehingga kesenjangan infrastruktur telekomunikasi dan suplai internet per GB dapat teratasi. Total pengguna 26,5 juta pengguna tidak lagi menjadi beban Satria sendiri.

“Inilah kenapa perlu hadir Satria 2 dan 3 untuk menjawab kebutuhan kuota masyarakat yang saat ini jauh dari jangkauan 5G bahkan 4G,” ujarnya.

Dia mengatakan kehadiran internet di daerah 3T memiliki banyak dampak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Isu kualitas pendidikan, kesenjangan, keadilan, lembaga yang kuat, dan lain sebagainya dapat lebih mudah dihadapi jika akses internet sudah masuk.

Secara terpisah, Anggota Dewan Profesi dan Asosiasi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kanaka Hidayat mengatakan satelit adalah jalan terakhir untuk menyalurkan akses internet ke suatu wilayah, dan untuk daerah 3T hanya satelit yang paling tepat.

Berbeda dengan Jakarta yang jaringan serat optik telah banyak digelar dan kecil wilayahnya, daerah 3T memiliki wilayah yang luas, medan yang terjal dan lain sebagainya, yang membutuhkan ongkos mahal dan lama untuk menggelar serat optik. Alhasil satelit jadi pilihan terakhir.

Sayangnya untuk mengoperasikan satelit tidak mudah. Satelit memiliki lingkup regulasi internasional dan domestik yang ketat, teknologi yang terus berkembangan dan bisnis komersial dengan modal padat.

“Jadi waktu kita ingin bangun satelit, kita harus bayar lunas dalam 1-3 tahun. Itu tantangannya,” kata Kanaka.

Sekadar informasi, per April 2021, Bakti menyampaikan perkembangan pembuatan Satelit Satria telah mencapai 11,5 persen. Seluruh perencanaan telah dimatangkan sehingga ditargetkan pada Juni atau Juli konstruksi Satelit Satria sudah bisa dimulai.

Waktu operasional tidak berubah walaupun waktu mulai pabrikan ada perubahan karena pandemi Covid-19. Secara umum proyek ini tidak bergeser dari target operasinya termasuk untuk peluncuran satelit. Artinya secara pendanaan Satelit Satria 1 tak menemui hambatan.

Selagi prosesnya dimatangkan, ada kemungkinan belanja modal untuk Satelit Satria 2 dan 3 lebih mahal dibandingkan dengan Satria 1. Wajar, karena kapasitas yang dihasilkan lebih besar yaitu masing-masing 300 Gbps dan 500 Gbps.

Kondisi ini mengingatkan penulis pada adagium Jawa yang berbunyi jer basuki mawa beya. Artinya, semua keberhasilan membutuhan usaha dan biaya. Di tengah upaya pemerintah membutuhkan internet yang andal dan pemangkasan kesengjangan di wilayah 3T, tentu biaya yang disiapkan tidak sedikit.

Sayangnya, saat ini kondisi Tanah Air sedang limbung akibat pandemi Covid-19 yang tak kunjung berhenti dan malah semakin parah. Anggaran pemerintah tentu terpecah untuk melakukan penanganan virus yang kini telah menjadi prioritas.

Semoga masih ada harapan untuk menghadirkan Satria 2 dan Satria 3 demi terciptanya akses digital berkualitas dan merata di seluruh Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper