Izin Frekuensi Sampoerna Telekomunikasi Terancam Dicabut

Leo Dwi Jatmiko
Selasa, 20 April 2021 | 17:38 WIB
Teknisi memasang prangkat base transceiver station (BTS) disalah satu tower di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (18/3/2020).
Teknisi memasang prangkat base transceiver station (BTS) disalah satu tower di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (18/3/2020).
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat telekomunikasi berharap permasalahan tunggakan pembayaran spektrum frekuensi yang dilakukan oleh PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) diusut dengan transparan. 

Sesuai dengan peraturan yang berlaku, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dapat menarik frekuensi yang digunakan oleh perusahaan dengan merek dagang Net1 Indonesia tersebut.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan pemerintah harus bersikap transparan dalam mengatasi permasalahan penunggakan pembayaran Biaya Hak Penggunaan (BHP) Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) milik STI. Pemerintah diharapkan berani mencabut frekuensi yang digunakan, jika ternyata STI tidak membayar BHP IPFR selama 2 tahun.

“Kita berharap Menkominfo melakukan langkah sesuai aturan, tidak bayar BHP ya frekuensi dicabut,” kata Heru, Selasa (20/4/2021).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kominfo No. 9/2018 tentang Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio pasal 21 disebutkan bahwa Kemenkominfo dapat mencabut IPFR dengan catatan perusahaan pengguna pita frekuensi tidak melakukan pemancaran layanan sesuai dengan izin penyelenggaraan telekomunikasi yang dimiliki selama 2 tahun atau tidak melunasi pembayaran BHP Frekuensi Radio untuk IPFR selama 24 bulan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Sebelum mencabut, Kemenkominfo akan terlebih dahulu memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali berturut-turut dengan jangka waktu antarsurat peringatan selama 1 bulan.

Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika mempertanyakan niat STI dalam mengguna pita frekuensi 450MHz. STI disebut belum melaksanakan pembayaran BHP IPFR Tahun Keempat (2019) dan Tahun Kelima (2020) namun tetap mempergunakan secara komersial spektrum frekuensi radio pada Pita 450 MHz.

“Hal ini tentu berdampak pada penerimaan negara," kata Johnny.

Atas tunggakan tersebut, Menkominfo menerbitkan Kepmen Kominfo No. 456/ 2020 tentang Besaran dan Waktu Pembayaran BHP SFR untuk IPFR Tahun Kelima PT STI pada November 2020.

Johnny menjelaskan Kepmen Kominfo No. 456/2020 ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 80/2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku di Kemenkominfo, yang menyebutkan bahwa Menteri menetapkan besaran dan waktu pembayaran BHP IPFR tiap tahunnya dan Peraturan Pemerintah No. 53/2000 tentang Penggunaan Frekuensi Radio dan Orbit Satelit yang menyebutkan pembayaran wajib dilakukan di muka sebelum spektrum frekuensi radio dipergunakan untuk tiap tahunnya

Mengenai adanya tunggakan BHP IPFR selama 2 tahun, Bisnis.com mencoba menghubungi CEO Sampoerna Telekomunikasi Indonesia Serge Arbogast. Namun hingga berita ini diturunkan tidak mendapat respons. 

Sementara itu, Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ITB Ian Yosef M. Edward mengatakan pihak STI dapat memberikan bantahan terhadap surat yang diberikan kepada perseroan, jika ternyata dalam penggunaan frekuensi 450MHz terdapat hambatan, yang membuat mereka tidak dapat menggunakan frekuensi secara maksimal.

“BHP dia memang nasional, tetapi kalau ternyata di lapangan frekuensi mereka tabrakan dengan milik orang lain sehingga sulit digunakan secara nasional dan optimal, seharusnya Kemenkominfo turun,” kata Ian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper