Bisnis.com, Jakarta - Berita terkait potensi tsunami di Pantai Selatan Jawa menggemparkan masyarakat.
Informasi itu, bermula dari Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Sri Widiyantoro yang menjelaskan perihal risetnya tentang potensi gempa berkekuatan besar di selatan Pulau Jawa.
Penelitian itu bertema Celah seismik di selatan Jawa Indonesia dan pengaruhnya terhadap gempa bumi megathrust dan tsunami.
Dalam penelitiannya yang dipublish di nature science, disebutkan jika riset itu melibatkan peneliti multidisiplin. Ada ahli data Global Positioning System (GPS) dan ahli tsunami. Riset ini meneliti berbagai sisi tentang seismic gap di selatan Pulau Jawa.
Dari hasil penelitian, para Ilmuwan menemukan terdapat celah seismik dekat dengan pulau Jawa yang bisa menjadi daerah potensial terjadinya gempa bumi megathrust yang besar maupun potensi tsunami setinggi 20 m yang menyusul dari gempa tersebut, data tersebut diambil dari berbagai sumber seperti GPS dan data dari BMKG dengan tujuan untuk memperkuat Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia
Di dalam riset itu disebutkan jika relokasi gempa bumi yang dicatat oleh badan meteorologi, klimatologi, dan geofisika (BMKG) di Indonesia dan inversi data global positioning system (GPS) mengungkapkan celah seismik yang jelas di sebelah selatan pulau jawa. Celah ini mungkin terkait dengan sumber potensial gempa megathrust di masa depan di wilayah tersebut.
Untuk menilai bahaya gelombang yang akan terjadi, pemodelan tsunami dilakukan berdasarkan beberapa skenario yang melibatkan gempa bumi tsunamigenik besar yang ditimbulkan oleh pecahan di sepanjang segmen megathrust selatan Jawa. Skenario terburuk, di mana dua segmen megathrust yang membentang di Jawa secara bersamaan, menunjukkan bahwa ketinggian tsunami bisa mencapai ~ 20 m dan ~ 12 m di pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur, dengan rata-rata ketinggian maksimum 4,5 m di sepanjang pantai selatan Jawa.
Hasil ini mendukung panggilan terkini untuk penguatan Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS) yang sudah ada, khususnya di Jawa, sebagai pulau terpadat di Indonesia.
Dalam penelitian itu juga disebutkan celah seismik di pantai barat daya Sumatera, yang memiliki risiko untuk dapat terjadinya peristiwa megathrust di masa depan, telah dipelajari secara rinci. Di sisi lain, celah seismik yang lebih jauh ke tenggara di sepanjang Busur Sunda berbatasan dengan Jawa, pulau utama Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 150 juta orang, kurang dipelajari secara intensif.
Wilayah di sepanjang pantai selatan Jawa, misalnya, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Pacitan, dan Banyuwangi, telah berkembang pesat belakangan ini dan rentan terhadap gempa bumi besar dan gempa lainnya tsunami terkait, yang bisa sangat menghancurkan. Pada tahun 1994 dan 2006, gempa bumi tsunamigenik dengan kekuatan magnitudo < 8 terjadi di dekat wilayah Banyuwangi, Jawa Timur, serta Pangandaran, Jawa tengah masing-masing dan tsunami yang menyusul telah mengakibatkan korban jiwa total sekitar ribuan orang.
Kemudian, di selatan Jawa, dasar laut usia Jurassic dengan tutupan sedimen yang tebal menunjam di bawah margin Sundaland di Palung Jawa. Tidak adanya gempa bumi besar baru-baru ini mungkin menunjukkan hal itu Bahkan peristiwa tsunamigenik yang lebih kuat di sepanjang pantai selatan Jawa merupakan ancaman potensial. Jika ini benar, maka Pemberlakuan peringatan dini yang efektif perlu menjadi prioritas utama, karena kebanyakan orang yang hidup dalam wilayah risiko tsunami tinggi akan memiliki sedikit waktu untuk mengungsi.
Namun, adanya celah seismik tidak selalu berarti akumulasi regangan elastis, karena kejadian slip lambat dapat bertanggung jawab atas pelepasan energi yang berkelanjutan. Sementara tidak ada bukti pergelinciran lambat di sepanjang Palung Jawa, ini mungkin karena kurangnya pengamatan, tetapi hal tersebut bisa diperoleh dengan investigasi geodetik dasar laut. Namun demikian, meski pergelinciran lambat tidak bisa dibuktikan, belakangan ini studi telah menemukan bukti endapan tsunamigenik di sepanjang garis pantai yang menghadap Palung Jawa, titik yang dimana terjadinya peristiwa megathurst bersejarah.
Pada Studi ini, para ilmuwan menggunakan data yang diambil katalog dari Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS) yang dilaporkan oleh BMKG, yang digabung dengan data dari Katalog International Seismological Centre (ISC), untuk menginvestigiasi potensi dari terjadinya gempa bumi megathrust dan tsunami yang menyusul di wilayah selatan Pulau Jawa. Dari penggabungan kedua data ini, para ilmuwan mengekstraksi gelombang P dan S dari gelombang tiba dari 436 titik seismik lokal, regional, dan jarak teleseismic dalam periode April 2009 hingga November 2018.
Para Ilmuwan membatasi data gempa bumi dari rentetan tersebut yang memiliki rentang azimuthal yang kurang dari 210°, serta yang memiliki setidakya fase tiba P dan S di angka 10. Gabungan dari data ini, para ilmuwan bisa merelokasi secara akurat gempa bumi dengan total 1898 dengan kekuatan Mw≥4.0 di wilayah studi. Relokasi ini bisa dicapai menggunakan teknik teleseismic double-diference yang termasuk dalam metode teletomoDD yang diperkenalkan oleh Pesicek et al, yang juga dapat memasukan rekaman data gempabumi lokal dan regional.
Selain analisis data seismic, para ilmuwan juga melihat kembali data GPS selama 6 tahun dari 37 pos di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menginvestigasi defisit pergelinciran yang bisa berujung pada gempa di masa depan. Hasil dari data ini digabungkan dengan studi Jawa Barat sebelumnya untuk menghasilkan model gabungan dari rata-rata defisit pergelinciran untuk seluruh Pulau Jawa. Area yang menjadi sumber dan wilayah perkiraan slip yang disimpulkan dari hasil inversi data GPS kemudian digunakan untuk pemodelan numerik ketinggian gelombang tsunami melalui solusi diferensi hingga dari persamaan gelombang panjang. Terdapat tiga skenario perpecahan berbeda yang diuji, dengan fokus pada ketinggian gelombang maksimum di sepanjang pantai selatan Jawa.
Hasil Penelitian
Hasil relokasi gempa menunjukkan zona memanjang yang jelas, terletak di antara pantai Jawa dan Parit Jawa, yang kurang seismicity dan karenanya diidentifikasikan sebagai celah seismik (seperti yang ada pada gambar 1.1 dan 1.2). Celah ini merupakan gejala dari zona subduksi yang memiliki potensi gemba bumi besar yang signifikan; seperti daerah lain, seperti di bagian pantai dari Sumater, di mana akvitivitas seimik baru-baru ini telah mengisi celah seismik, sehingga gempa bumi besar diharapkan tidak dapat terjadi.
Jika diasumsikan bahwa celah tersebut berkaitan dengan kurangnya gempa bumi pada antarmuka lempeng dari subduksi lempengan, apabila hal tersebut sesuai dengan model patahan, maka region yang terkunci dari daerah pertemuan subduksi
akan memanjang sebesar 20 hingga 30 km, mendekati dengan dasar dari lempeng patahan atas, yang akan menjadi konsistem dengan zona seismogenic umumnya untuk daerah zona subduksi besar gempa bumi.
Pergeseran pusat peristiwa relokasi umumnya tegak lurus (arah utara-selatan) ke Parit Jawa, yang biasanya menjadi alasan kenapa pos secara garis besar di distribusikan di daerah Utara Pulau Jawa. Sama halnya, dikarenakan seismoteres diletakkan pada permukaan diatas gempa bumi, maka akan terjadi pergerakan kearah vertical. Mengikuti relokasi dari Hypocenter maka akan terjadi perubahan juga pada residu berjalannya waktu, yang akan akan mengindikasikan waktu perjalanan waktu yang lebih tepat untuk lokasi yang baru. Ketidakpastian statistik dari parameter hypocentral merupakan hasil dari relokasi tersebut.
Dengan membandingkan bidang deformasi yang diamati dengan model gerakan pelat jangka panjang, Hasil dari data GPS inversi dapat mengungkapkan proses akumulasi regangan saat ini, yang kemungkinan mencerminkan pembentukan energi regangan jangka panjang. Dimana deformasi GPS yang diamati lebih kecil dari gerakan lempeng (slip defcit), maka daerah-daerah tersebut diduga sebagai sumber gempa bumi di masa depan.
Daerah slip defcit terkuat berada di selatan Jawa Barat yang bisa menjadi sumber potensial dari gempa bumi megathrust. Pembalikan data GPS dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan dalam studi ini menunjukkan ciri-ciri yang serupa, yaitu dua zona dengan defisit slip, meskipun lebih rendah besarnya dibandingkan dengan barat, yang tidak mengejutkan mengingat perbedaan kecepatan GPS antara dua wilayah. Zona defisit selip tinggi pertama terletak di bagian yang lebih dangkal dari sesar di selatan pantai Jawa Tengah. Wilayah defisit selip tinggi kedua berada di bagian yang lebih dalam dari seismogenik megathrust zona pantai selatan Jawa Timur
Asumsi bahwa area defisit slip besar akan sesuai dengan area slip gempa besar di masa gempa bumi besar mendatang bisa jadi merupakan penyederhanaan yang berlebihan. Contoh dari daerah lain mengungkap sebuah kerumitan hubungan antara pengukuran geodesi dan slip selama gempa bumi. Namun, kami masih merasa bahwa ini adalah latihan yang berguna untuk menyelidiki skenario ini, karena ini memberikan cara untuk memperkirakan ketinggian tsunami yang potensial jika terjadi gempa bumi besar di masa depan. Pendekatan dan asumsi yang kami adopsi serupa dengan yang digunakan untuk Palung Nankai, di mana area geodetic coupling yang kuat diasumsikan sebagai area longsoran besar selama gempa bumi.
Jika kita mengadopsi asumsi di atas, maka area defisit slip tinggi dapat pecah secara terpisah atau bersamaan selama gempa bumi. Area zona defisit di selatan Jawa Barat ekuivalen dengan gempa Mw 8,9, dengan asumsi periode pengembalian 400 tahun. Untuk periode ulang yang sama, area defisit slip tinggi di Jawa Tengah dan Jawa Timur setara dengan gempa Mw 8.8, sedangkan jika kedua wilayah tersebut pecah di gempa tunggal, itu akan menghasilkan peristiwa Mw 9.1
Untuk menilai tinggi potensi tsunami di sepanjang pantai selatan Jawa kami melakukan pemodelan tsunami menggunakan beberapa skenario yang berbeda. hipotetis segmen megathrust tersedia dari National Center for Earthquake Studies of Indonesia, tetapi pada studi ini para peneliti menggunakan segmen megathrust dari data inversi GPS, yang dianggap lebih realistis dikarenakan para peneliti sudah mengestimasikan jumlah dari slip. disini kita melakukan pemodelan tsunami dengan tiga skenario megathrust yang berbeda: (1) segmen jawa barat saja (Mw 8,9), (2) ruas jawa timur, yaitu di selatan jawa tengah dan timur hanya (mw 8,8), dan (3) barat dan segmen timur Jawa (Mw 9.1). 10–12.
Skenario terburuk (Skenario 3) dengan periode ulang 400 tahun dapat menghasilkan gempa bumi raksasa Mw 9.1 dan tsunami yang sangat besar dengan ketinggian maksimum 20,2 m dekat pulau-pulau kecil di sebelah selatan Banten, provinsi paling barat Jawa, pada ~ 105,5 ° BT.
"Kami mencatat bahwa ketinggian tsunami bisa lebih tinggi daripada yang dimodelkan saat terjadi kemerosotan, seperti yang telah diperlihatkan pada kasus gempa gempa bumi skala 7.5 Palu 2018 di Sulawesi, Indonesia Timur, di mana tanah longsor bawah laut mungkin telah berkontribusi pada terjadinya tsunami," tulis penelitian itu.