Soal Gugatan RCTI dan iNews, Menkominfo Buka Suara

Leo Dwi Jatmiko
Rabu, 2 September 2020 | 00:32 WIB
Gedung iNews Tower./mediacom
Gedung iNews Tower./mediacom
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Perbedaan perlakuan antara siaran berbasis internet dengan siaran konvesional menjadi salah satu penyebab lahirnya gugatan RCTI dan iNews TV, yang tertuang dalam nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.

PT Visi Citra Mitra Mulia ( iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia ( RCTI) melakukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) pasal 1 angka 2 melalui TKNP Law Firm.

RCTI dan iNews TV menilai bahwa Pasal 1 angka 2 UU tentang Penyiaran tidak memberi yang setara antara penyelenggara penyiaran free-to-air (FTA) yang menggunakan frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran barbasis layanan over-the-top ( OTT) yang menggunakan internet, seperti YouTube dan Netflix.

Layanan OTT yang tidak memiliki kepastian hukum tidak terikat oleh UU penyiaran sebagaimana yang terjadi dengan lembaga penyiaran konvesional. Menurut TKNP seharusnya OTT masuk UU penyiaran karena turut memproduksi siaran.

Karena tidak masuk kedalam UU penyiaran, maka OTT terbebas dari sejumlah syarat penyiaran seperti asas tujuan, persyaratan penyelenggaraan siaran, perizinan penyelenggaraan, pedoaman mengenai isi dan bahasa, pedoma perilaku dan pengawasan.

Sejumlah poin tersebut berlaku bagi lembaga penyiaran konvesional namun tidak untuk OTT.

TKNP Law Firm menilai bahwa dengan tidak dikenakannnya OTT terhadap UU penyiaran maka terjadi persaingan yang tidak adil antara lembaga penyiaran konvesional dengan OTT.

Sidang atas gugatan dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020 itupun telah berjalan tiga kali. Sidang pertama atau pendahuluan, digelar pada Senin, 22 Juni 2020. Sidang kedua dilakukan pada 9 Juli, dan sidang ketiga pada 26 Agustus.

Pada sidang 26 Agustus 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika angkat bicara mengenai hal tersebut.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M Ramli mengatakan bahwa layanan OTT memiliki banyak lapisan dalam industri telekomunikasi seperti lapisan aplikasi, lapisan isi pesan singkat dan lapisan panggilan video atau konfrensi video.

Dengan beragam lapisan tersebut untuk pengaturannya pun cukup kompleks dan tidak bisa bersandar pada satu peratruran saja, Saat ini. peraturan OTT saat ini merujuk pada jenis layanannya.

Dia juga berpendapat bahwa layanan OTT di Tanah Air masih tumbuh dan berkembang jika diatur maka akan menghambat pertumbuhan ekonomi kreatif dan ekonomi digital nasional.

“Mengatur OTT secara ketat juga akan menghadapi layanan hukum dalam penegakannya karena mayoritas OTT saat ini berada di yuridiksi luar Indonesia,” kata Ramli.

Merujuk pada peraturan OTT di internasional, kata Ramli, negara-negara seperti Kanada, Inggris, Australia, Jepang dan Singapura tidak mengatur layanan audio visual berbasis Video-on-Demand (VoD)yang menggunakan internet untuk diklasifikasikan sebagai bagian dari penyiaran.

“Sehingga peraturan OTT VoD diatur dalam peraturan yang terpisah dengan penyiaran,” kata Ramli.

Ramli juga mengatakan bahwa dalil para pemohon – RCTI dan iNews—tidak berdasar karena UU no. 32/ 2002 tentang Penyiaran tidak dapat berdiri sendiri sebagai pokok penyiaran. Kegiatan penyiaran telah diklasifikasikan secara khusus dan rinci.

Berdasarkan ketentuan terdapat perbedaan jelas antara penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran dengan layanan OTT VoD.


Perbedaan Penyiaran dan OTT

Ramli mengatakan bahwa, pertama, lembaga penyiaran menggunakan spektrum frekuensi radio, melaui satelit, kabel serat optik dan lain sebagainya dan diterima secara serentak oleh masyarakat.

Kedua, penyiarannya dibatasi hanya televisi dan radio. Ketiga, penyiaran dilakukan berdasarkan izin penyiaran lembaga yang berbadan hukum di Indonesia. Keempat, kegiatan penyiaran konvesional dilakukan dengan menggunakan infrastruktur yang secara khusus untuk penyiaran.

Kelima, masyarakat tidak dapat memilih program siaran, tayangan siaran bergantung kepada lembaga penyiaran.

“Secara menyeluruh pemohon tidak memahami UU tentang Penyiaran pasal 1 angka 2 dan tidak memahami pengaturan dalam undang-undang penyiaran dan peraturan pelaksanaannya,” kata Ramli.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Hafiyyan
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper