Author

Ilma Nugrahani

Dosen Farmasi Institut Teknologi Bandung

Pengalaman menulis kolom humor di Suara Merdeka (SD-SMP), pernah menulis cerpen di Femina, Aura, Nova; pernah menulis feature di Femina, menyusun buku terjemahan, editor lepas di suatu penerbit, dan menulis jurnal ilmiah internasional/nasional.

Lihat artikel saya lainnya

Membangun Kemandirian Riset dan Jurnal Ilmiah

Ilma Nugrahani
Sabtu, 29 Agustus 2020 | 13:10 WIB
Dunia berlomba riset untuk menemukan vaksin Covid/19
Dunia berlomba riset untuk menemukan vaksin Covid/19
Bagikan

Terima atau tidak, salah satu kemajuan riset suatu negara diukur dengan jumlah paper yang diterbitkan oleh jurnal yang diakui secara internasional.

Bagaimana menilainya? Saat ini sistem pemeringkatan yang dianggap sah dan terbanyak diikuti oleh dunia adalah SJR (Scimago Journal Rank). Sistem ini merangking jurnal berdasarkan IF (impact factor) dan Q (quartile).

Lalu, di mana posisi Indonesia? Dilihat di daftar SJR per Januari 2020, negara kita menduduki peringkat 48 dari 239 negara, dengan jumlah dokumen 110.610.

Bagaimanapun, hasil tersebut sudah luar biasa, mengingat segala keterbatasan sarana dan jumlah laboratorium terkalibrasi, literasi, dan pengadaan bahan baku penelitian yang cukup susah. Tiga hal tersebut sangat menentukan keberhasilan riset di bidang sains dan teknologi.

Harus diakui, ketersediaan sarana dan laboratorium terkalibrasi yang memerlukan dukungan konsistensi dan dana. Untuk 2019, anggaran pendidikan dialokasikan Rp 429,5 triliun, dan dana penelitian Rp35,7 triliun.

Selain sarana laboratorium, dengan minimnya anggaran penelitian, akibatnya literasi juga tak tersedia dengan layak. Beberapa perguruan tinggi teratas di Indonesia hanya mampu mengakses 1-2 publisher internasional.

Di sisi lain, bahan penelitian rata-rata adalah produk impor. Akibat pertama adalah dari sisi harga, mahal. Dari sisi waktu, lama datangnya, bisa sampai 2- 4 bulan indent. Bahkan bagi peneliti obat, butuh prosedur yang cukup rumit untuk mendatangkan beberapa bahan baku riset karena banyak bahan bisa dikaitkan dengan narkoba.

Selanjutnya, target dan pertanggungjawaban akhir penelitian menyebabkan para peneliti gamang. Menristek Dikti telah mengeluarkan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa penelitian lebih berbasis pada output. Namun pada kenyataannya format pelaporan akhir anggarannya masih rumit.

Perang Publikasi

Yang tidak kalah menarik adalah mengamati terjadinya perang dunia publikasi yang tak kalah seru dengan perang senjata di masa lalu. Lima besar dunia dalam SJR sejauh ini masin diduduki oleh Amerika Serikat, China, United Kingdom, Inggris, dan Jepang. Turun ke 5-10 besar adalah Prancis, Kanada, Italia, India, dan Spanyol.

Pada kenyataannya, sarang publikasi ilmiah masih berpusat Amerika dan Eropa, yang sudah berdiri ratusan tahun lalu, seperti Elsivier (Netherland), 1580; Springer-Nature (UK), 1869; hingga zaman modern Science-direct (USA), 1997; Wiley (USA), MDPI (Swedia), 1996; dan seterusnya. Scopus adalah produk dari Elsevier yang menjadi induk sistem SJR.

Beberapa negara Asia, seperti China, Jepang, dan India masuk ke dalam 10 besar. China dan India sangat progresif dalam penerbitan jurnal mereka, didukung oleh perkembangan di bidang IT dan sumber daya terdidik yang melimpah, memiliki masing-masing 661 dan 526 judul dalam SJR, dan Jepang dengan 485 judul.

Sejauh Indonesia masih berkiblat pada Scopus dan perangkingan Scimago, masih banyak PR yang harus dikerjakan. Dengan segala keterbatasan, lakukan kolaborasi. Bisa diamati, dokumen sains dan teknologi dari peneliti Indonesia yang masuk Q1 biasanya hasil kolaborasi dengan pihak asing. Artinya, mereka membantu menyediakan sarana, dan kita yang bekerja .

Sebenarnya, cara ini bukan berarti menjadi mudah dan murah, karena perjalanan ke luar negeri, waktu, dan biaya hidup di negeri asing kalau dikumpulkan dari banyak program riset sudah bisa menebus harga instrumen yang digunakan (dipinjam). Banyak hal positif dari riset kolaborasi, tetapi jangan lupa juga kerugiannya. Hasil riset kita tak bisa utuh diakui sebagai produk kita sendiri, dan kadang cukup menyulitkan dalam pengurusan patennya.

Berikutnya, dukung pengelolaan penerbitan jurnal ilmiah dalam negeri secara serius. Para redaktur, editor, dan reviewer sudah semestinya diberi kesempatan untuk lebih fokus dan diperlakukan secara profesional.

Strategi lain, Indonesia bisa memperkuat rangkingnya melalui peningkatan produksi jurnal berbasis ‘data kering’, yang tidak memerlukan sarana laboratorium dan bahan impor. Untuk riset sains dan teknologi, riset berbasis modeling dan komputasi juga lebih berkemungkinan untuk bersaing.

Di sisi lain, sebenarnya kita juga masih perlu mengkaji ulang, haruskah selalu mengukur diri dengan standar para penguasa penerbitan dunia?

Bagaimana jika kita suburkan dulu jurnal nasional kita, mempermudah birokrasinya, dengan penuh percaya diri, memberinya poin lebih? Dengan demikian, peneliti kita tak harus lari mengejar publikasi dengan penilaian dan ukuran yang dibuat oleh negara-negara adikuasa.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Ilma Nugrahani
Editor : Sutarno
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper