Televisi Digital, Pengamat : Regulasi Dibutuhkan

Akbar Evandio
Senin, 6 Juli 2020 | 20:14 WIB
Ilustrasi menonton televisi./ANTARA FOTO-Galih Pradipta
Ilustrasi menonton televisi./ANTARA FOTO-Galih Pradipta
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pengamat menilai usulan pemerintah untuk menetapkan batas akhir untuk analog switch off (ASO) dalam rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja memang semestinya dilakukan.

“Sebenarnya, pengubahan aturan penyiaran [memang] dilakukan lewat RUU Cipta Kerja cluster penyiaran dan revisi UU Penyiaran. Namun, karena Revisi UU Penyiaran digeser [ke 2021], maka RUU Cipta Kerja cluster penyiaran harus jalan,” tegas Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi ketika dihubungi Bisnis, Senin (6/7/2020).

Menurutnya, Indonesia sudah sering molor dari rencana penyelesaian payung hukum dari televisi digital tersebut. Sebelumnya, pembahasan revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 itu juga tertunda pada tahun lalu. Padahal, revisinya diajukan sejak 2017.

“Kemudian sekarang semua serba digital jadi masyarakat harus mendapat layanan penyiaran yang lebih bagus juga, bukan lagi analog. Dan, kita butuh internet cepat. Dan pita 700 MHz jadi pilihan untuk jawab kebutuhan hadapi new normal dan next normal akan pembelajaran daring dan teleworking atau kerja jarak jauh,” tegasnya.

Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono juga ikut menyayangkan penundaan RUU Penyiaran. Pasalnya, karena tertunda bertahun berakibat ke Indonesia yang menjadi negara paling tertinggal dalam proses digitalisasi siaran TV.

“Selain itu, ini merugikan masyarakat untuk menikmati TV dengan kualitas yg lebih baik serta pengkayaan konten siaran yang makin beragam . Proses digitalisasi TV sendiri umumnya memakan waktu 3 tahun sehingga dengan mundurnya penyelesaian RUU penyiaran maka berpotensi molor juga dari jadwal yang sdh direncanakan,” jelasnya.

Apabila layanan TV digital tidak dapat terealisasi di April 2022, dia mengungkapkan masyarakat tidak bisa menikmati kualitas gambar dan suara digital yang lebih jernih serta efisiensi penggunaan spektrum frekuensi.

“Strategi yang bisa dilakukan oleh pemerintah dengan pengoperasian [sistem] secara hybrid, karena sebagian besar penyelenggara TV sudah menggunakan sistem digital, sehingga tinggal tersisa infrastruktur radionya saja yang masih analog bahkan sudah banyak yang investasi sistem radio digital sehingga [sistem ini] dapat dioperasikan secara paralel,” ungkapnya .

Untuk diketahui, sistem hybrid multiplexing adalah campuran antara single mux dan multi mux. Sistem single mux menerapkan pola pengelolaan penyiaran pada satu lembaga penyiaran publik, yakni meliputi aspek regulasi maupun operasional. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper