Bisnis.com, JAKARTA – Kencangnya pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia, rupanya belum mampu menekan ketimpangan ekonomi di Indonesia. Bahkan di sektor belanja digital, ketimpangan itu pun begitu terasa.
Berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain Company, pada 2019 rata-rata penduduk di area Jabodetabek membelanjakan US$555 setiap tahun melalui platform digital, sedangkan rata-rata penduduk di luar Jabodetabek hanya mengeluarkan US$103 per tahun.
Kondisi ini tentu menjadi ironi tersendiri, lantaran Indonesia merupakan pasar digital terbesar di Asia Tenggara dengan nilai ekonomi berbasis internet melebihi US$40 miliar pada 2019 serta pertumbuhan mencapai 49% per tahun.
Adapun, ketimpangan tersebut salah satunya terjadi karena perusahaan rintisan besar dengan pendanaan di atas US$100 juta belum mau masuk ke wilayah-wilayah di luar Jabodetabek.
Co-Founder dan Managing Partner of East Ventures Wilson Cuaca menilai beberapa hal yang menjadi penyebab masih rendahnya penetrasi perusahaan rintisan besar ke wilayah luar Jabodetabek adalah infrastruktur yang belum memadai, rendahnya akses digital, nilai kapital, dan tingkat adopsi teknologi.
Hal lain yang menciptakan ketimpangan ekonomi di sektor digital itu belum baiknya ekosistem digital di wilayah luar Jabodetabek. Adapun, beberapa hal yang menjadi indikator dari ekosistem digital suatu daerah adalah jumlah penduduk, akses kepada kapital, dan sarana transportasi.
Adapun, perusahaan rintisan besar diyakini mampu menjadi pendorong untuk memacu digitaliasasi wilayah di luar Jabodetabek. Sebagai knowledge base economy, perusahaan-perusahaan tersebut dikatakan memiliki kemampuan untuk mendesain strategi untuk meminimalisir ketimpangan ekonomi digital di Indonesia.
Untuk itu, Wilson menyarankan agar perusahaan-perusahaan rintisan besar harus membawa pelayanan digitalnya ke luar Jabodetabek. Hal itu dibutuhkan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh wilayah di luar Jabodetabek sebagai sumber pertumbuhan digital baru.
"Servis digital yang ada di kota besar bisa dikembangkan di daerah luar Jabodetabek, sehingga literasi digital bisa sama rata dan terjadi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pemerataan digital," ujar Wilson di sela-sela acara Katadata Indonesia Digital and Economic Conference 2020 di Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Dihubungi secara terpisah, pengamat perusahaan rintisan sekaligus CEO DailySocial.id Rama Mamuaya mengatakan ketimpangan ekonomi digital di Indonesia bukan hanya masalah di sektor teknologi.
"Pasalnya, penggerak ekonomi nasional memang terpusat di Jabodetabek," ujarnya.
Dia mengatakan terdapat tiga hal yang bisa menjadi penyebab timpangnya ekonomi digital tersebut, antara lain; pertama, akses ke pendanaan paling banyak di Jakarta; kedua, bisnis, pendapat, dan kebanyakan pengambil keputusan di perusahaan besar ada di Jakarta; ketiga, talenta teknologi masih terfokus di Jakarta.
Untuk memaksimalkan potensi pasar digital wilayah di luar Jabodetabek, ujar Rama, pemerintah daerah juga harus mampu memancing ketertarikan perusahaan-perusahaan besar untuk masuk.
"Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan Pemda untuk membuat provinsinya menarik sehingga startup besar bisa masuk?" ujar Rama.
Menurut Rama, untuk menarik perusahaan rintisan, pemerintah daerah setidaknya menyediakan tiga hal, yakni akses ke pendanaan, insentif pajak, akses untuk talenta digital, dan infrastruktur internet.
Untuk memaksimalkan potensi pasar digital wilayah di luar Jabodetabek, ujar Rama, pemerintah daerah juga harus mampu memancing ketertarikan perusahaan-perusahaan besar untuk masuk.
"Pertanyaannya, apa yangg bisa dilakukan Pemda untuk membuat provinsinya menarik sehingga startup besar bisa masuk?" ujar Rama.
Menurut Rama, untuk menarik perusahaan rintisan, pemerintah daerah setidaknya menyediakan tiga hal, yakni akses ke pendanaan, insentif pajak, akses untuk talenta digital, dan infrastruktur internet.