Bisnis.com, JAKARTA – Operator masih berharap hadirnya frekuensi rendah untuk 5G di pita frekuensi middle band 2,6 GHz – 3,5 GHz, agar terjadi efisiensi saat menggelar jaringan.
Plt. Chief Technology Officer PT XL Axiata , I Gede Darmayusa mengatakan perseroan menyambut baik penetapan ketiga frekuensi milimeter wave, yaitu 26, GHz, 40 GHz, dan 66 GHz, pada sidang World Radio Communications Conferences (WRC) 2019.
Dia menilai penetapan tersebut sebagai langkah awal pertumbuhan ekosistem 5G. Sebab, akan mendorong pertumbuhan gawai untuk pengguna, sekaligus membuat harga perangkat lebih terjangkau.
Gede menuturkan di Indonesia, spektrum 26GHz lebih bersih dibandingkan dengan 28GHz, karena spektrum 28GHz saat ini beririsan dengan spektrum satelit Ka band.
Meski demikian, sambungnya, penetapan spektrum pada band menengah seperti 3.5GHz dan 2.6GHz masih dinantikan oleh operator, karena spektrum pada pita lebar tersebut memiliki skala ekonomi yang lebih baik.
“Dengan frekuensi yang lebih rendah, spektrum mid band memiliki jangkauan cakupan yang lebih besar sehingga biaya pengembangan jaringan menjadi lebih rendah,” kata Gede kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Dia mengusulkan untuk efisiensi gelaran cakupan dan tetap menjamin kebutuhan kapasitas yang sangat tinggi dari teknologi 5G, milimeter wave sebaiknya diagregasi dengan spektrum mid band seperti 3.5GHz dan 2.6GH
Senada, Head of NSAS PT Indosat Tbk. Kustanto mengatakan bahwa frekuensi merupakan salah satu dari berbagai faktor yang akan menentukan keberhasilan implementasi 5G. Penetapan alokasi yang harmonis di seluruh dunia akan membantu dalam membangun ekosistem.
Hanya saja, kata Kustanto, penggunaan milimeter wave saja tidak akan cukup untuk membangun cakupan. Sebab, pemanfaatan frekuensi tinggi akan menghasilkan cakupan yang sempit.
Indosat Ooredoo mempertimbangkan seluruh opsi frekuensi yang ada. Pemerintah yang akan mengambil peran sangat menentukan dalam kepastian band mana yang akan digunakan di Indonesia
“Diperlukan juga alokasi frekuensi di mid-band maupun sub-1 GHz band untuk pemerataan jaringan 5G,” kata Kustanto kepada Bisnis.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Smartfren Telecom Tbk. Merza Fachys mengatakan bahwa sidang WRC yang diselenggarakan beberapa waktu lalu telah memberi kepastian bahwa frekuensi tersebut dapat digunakan secara global.
Adapun mengenai hadirnya ekosistem 5G setelah WRC mengumumkan frekuensi tambahan, kata Merza, masih bergantung pada permintaan pasar.
“Tentu ekosistem tumbuhnya akan mengikuti perkembangan supply and demand,” kata Merza.
Wakil Direktur Utama PT Hutchison 3 Indonesia, Danny Buldansyah mengatakan bahwa dengan spektrum millimeter wave, cakupan jaringan sangat kecil. Bahkan di spektrum 66 GHz, yang merupakan salah satu frekuensi tambahan 5G, hanya cukup untuk hotspot satu rumah.
“26 GHz cakupannya paling hanya 200 meter, terhadap cuaca juga lebih rentan. Yang paling bagus buat operator itu di spektrum rendah bandwithnya besar. Cuma sekarang kecil-kecil,” kata Danny.
Sementara itu Director ICT Strategy and Business Public Affairs & Communication Departemen Huawei Tech Investment, Mohamad Rosidi mengatakan bahwa Huawei akan mengikuti standar global dan regulasi yang berlaku. Huawei juga akan menyesuaikan dengan kebutuhan industri sebagai bagian dari percepatan ekosistem.
Adapun mengenai frekuensi rendah, kata Rosidi, makin rendah frekuensi maka akan lebih baik dari sisi jangkauan dan kecepatan. Hanya saja perlu mempertimbangkan ketersediaan dari frekuensi tersebut untuk layanan teknologi 5G.
“Huawei sebagai penyedia teknologi 5G tentunya support dan menyediakan solusi untuk setiap spectrum yang menjadi ketetapan global standard.
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, untuk pita lebar millimeter wave, saat ini sejumlah negara lebih banyak menggunakan 5G di rentang pita frekuensi 26,5 GH – 28 GHz.
Beberapa negara yang menggunakan 5G direntang tersebut antara lain Hongkong dengan 26,5 GHz – 27,5 GHz, Jepang dengan 27,5 GHz – 28,5 GHz dan 29 GHz – 29,5 GHz dan Korea Selatan 27,5 GHz -28,5 GHz.
Huawei menyampaikan bahwa perseroan telah menjalin kesepakatan dengan 50 perusahaan telekomunikasi global. Huawei menyampaikan dari kontrak yang terjalin, mayoritas negara-negara yang bekerja sama menggunakan c-band atau frekuensi 3,5 GHz- 3,8 GHz untuk 5G.
Negara-negara yang memutuskan untuk menggunakan frekuensi c-band antara lain, Norwegia, Irlandia, Republik Ceko, Inggris, Spanyol, Italia, Finlandia, Swedia, Swiss, Kanada, Jerman, Perancis, Belgia dan Denmark.
Kemudian di sekitar Asia, terdapat Australia, Korea Selatan, Qatar, UAE, China, Arab Saudi, Hongkong, Jepang, India, dan Selandia Baru.
Selain 3,5 GHz, beberapa operator global juga menggunakan alternatif frekuensi lain seperti 2,6 GHz, beberapa negara yang menggunakan frekuensi ini antara lain Amerika Serikat, China, Swiss, India, dan Jepang.
Ketua Program Studi Magister Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan bahwa pita frekuensi 26 GHz aman digunakan untuk 5G, jarak antara frekeunsi tersebut dengan frekeunsi satelit internet cepat atau High Throughput Satellite (HTS) cukup jauh sehingga peluang untuk tabrakan frekuensi atau interferensi kecil.
Dia juga meyakini bahwa dengan menggunakan 26 GHz maka ekosistem akan lebih cepat terbangun sebab beberapa operator telah uji coba 5G di frekuensi 28 GHz, yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan frekuensi tambahan.
“Tidak ada masalah, HTS kan dirancangnya 28 GHz, itu jauh berarti aman. Bagi vendor gawai juga tidak terlalu sulit untuk mengubah setting dari 28 GHz ke 26 GHz karena itu lebih rendah,” kata Ian.
Dia mengatakan tantangan frekuensi tinggi saat ini adalah cakupan yang kecil dan ketahanan terhadap cuaca seperti hujan dan badai.
Sebelumnya, Konferensi Komunikasi Radio Dunia atau World Radio Communications Conferences (WRC) 2019 yang diselenggarakan di Mesir menetapkan tiga pita frekuensi baru di milimeter wave untuk 5G yaitu 26 GHz (24,5 - 27,5GHz), 40 GHz (37- 43,5 GHz) dan 66 GHz.
Kasubdit Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat (DTBD) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Adis Alifiawan mengatakan di Indonesia untuk 26 GHz, terdapat pita frekuensi selebar 2.750 MHz yang siap digunakan oleh operator. Dengan luas pita tersebut, maka masing-masing operator berkesempatan untuk mendapatkan sekitar 500 MHz untuk 5G.
Sementara itu, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Ismail mengatakan untuk mengakomodir 5G, rencananya pemerintah tidak hanya mengandalkan frekuensi di millimeter wave, namun juga di pita lebar sedang atau mid band.
“Mid band kami punya dua opsi, di 2,6 GHz dan 3,5 GHz. Di 3,5 GHz kan masih ada sisanya tidak semua untuk kebutuhan satelit, ada sekitar 200 MHz. yang 2,6 GHz itu juga sedang kami usahakan agar bisa dirilis lebih cepat,” kata Ismail kepada Bisnis.com.
Ismail menambahkan bahwa saat ini pemerintah masih membahas lebih dalam mengenai rencana lelang frekuensi untuk 5G.