Bisnis.com, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber dinilai bersifat state-centric dan dikhawatirkan kontraproduktif dengan misi pengamanan individu di ruang siber.
Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar dalam kajiannya yang berjudul Dilema Keamanan dan Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan Keamanan Siber mengatakan istilah ‘keamanan siber’ memiliki banyak makna yang saling bertentangan.
Seringkali, dengan alasan keamanan siber, negara negara merumuskan keputusan yang tidak tepat dan cenderung membatasi hak asasi manusia (HAM).
“Karena itu, perlu mendamaikan antara keamanan dan HAM untuk membangun kepercayaan dan melindungi perangkat, jaringan, dan individu,” paparnya belum lama ini.
Dia menjelaskan bahwa terdapat 3 tujuan utama dari RUU Keamanan dan Ketahanan Siber.
Pertama, memberikan perlindungan terhadap individu.
Kedua, memberikan perlindungan terhadap perangkat, khususnya perangkat internet of things (IoT).
Ketiga, memastikan adanya perlindungan terhadap jaringan yang merupakan bagian integral dari kebijakan keamanan siber tetapi kerap diabaikan.
Lebih jauh, cakupan keamanan siber dalam RUU tersebut dinilai lebih luas dari keamanan nasional, sehingga aturan tersebut tidak semata-mata ditujukan untuk memastikan keamanan dan ketahanan negara.
“Keamanan siber harus diperlakukan sebagai ‘barang publik’ yang memberi manfaat bagi semua orang dengan kebijakan yang masuk akal untuk mengatasi masalah keamana sistemik,” lanjutnya.
Negara, sebagai penanggung jawab penuh perlindungan hak dan keamanan individu, serta kelompok bisnis dan pemangku kepentingan lain juga diharapkan dapat terlibat secara konstruktif dan kritis dalam tiap pengembangan dan implementasi kebijakan siber.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Cyber Security Forum Ardy Sutedja berpendapat, saat ini masih banyak pemangku kepentingan yang tidak mengetahui bagaimana penerapan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber ke depannya.
“Ada kesan keberadaan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber ini sengaja ditutupi. Bahkan, beberapa anggota Komisi I DPR RI sama sekali tidak tahu menahu meskipun membidangi siber dan internet. Dunia usaha juga mayoritas tidak tahu,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (1/9).
Untuk itu, dia berharap badan legislatif segera mengajak para pemangku kepentingan duduk bersama dalam merumuskan aturan tersebut agar tidak merugikan pihak manapun.
Secara terpisah, Juru Bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Anton Setiawan menegaskan, ke depannya bakal ada panduan-panduan keamanan siber yang diterapkan bagi individu.
Namun, dia tidak menjelaskan secara lebih spesifik terkait dengan panduan-panduan tersebut.
Sementara itu, penerapan aturan keamanan siber di tingkat perusahaan masih mengacu kepada tata kelola dan standar keamanan yang sudah ditetapkan.