Jalan Terjal Skema Jaringan Terbuka, Kepastian Hukum hingga Luka IM2

Pernita Hestin Untari
Senin, 16 Juni 2025 | 07:00 WIB
Pekerja melakukan perbaikan pada salah satu base transceiver station/BTS di Jakarta, Rabu (8/1/2025)/JIBI/Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja melakukan perbaikan pada salah satu base transceiver station/BTS di Jakarta, Rabu (8/1/2025)/JIBI/Bisnis/Arief Hermawan P
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Langkah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk menerapkan skema jaringan terbuka (open access) melalui spektrum frekuensi baru dihadapkan dengan sejumlah tantangan mulai dari kepastian hukum, hingga penurunan biaya hak penggunaan frekuensi. Kasus yang menimpa PT Indosat Mega Media (IM2) juga menjadi pelajaran yang tak boleh dilupakan. 

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menilai implementasi skema ini masih menghadapi tantangan regulasi, risiko hukum, dan beban biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi.

Dia menyarankan penghapusan BHP dan percepatan lelang spektrum agar kebijakan ini benar-benar efektif. Saat ini, mayoritas sekolah, puskesmas, dan kantor desa masih belum memiliki koneksi internet tetap yang memadai.

Heru menilai apabila pemerintah benar-benar ingin menjalankan skema ini, maka harus ada penguatan regulasi dan dukungan dari aparat penegak hukum untuk menghindari potensi pelanggaran hukum. 

Dia mencontohkan kasus Indosat Mega Media (IM2) yang sempat tersandung persoalan hukum karena adanya perbedaan tafsir terhadap penggunaan spektrum.

Diketahui, pada 2013, PT Indosat Mega Media (IM2) terseret kasus hukum dengan dengan dugaan penyalahgunaan frekuensi 2,1 GHz (3G) oleh PT IM2 yang bekerja sama dengan PT Indosat Tbk.

Kerugian negara ditaksir mencapai Rp1,3 triliun, dengan tuduhan IM2 tidak membayar biaya penggunaan frekuensi yang seharusnya. 

Terjadi perbedaan interpretasi antara lembaga penegak hukum dan instansi terkait mengenai aturan penggunaan frekuensi dan kewajiban perusahaan.

Petugas memperbaiki jaringan internet di menara BTS
Petugas memperbaiki jaringan internet di menara BTS

Para pemerhati hukum dan badan regulasi telekomunikasi saat itu menilai IM2 sudah menjalankan kewajibannya sesuai peraturan dan UU Telekomunikasi dan tidak ada unsur pelanggaran aturan dan hukum dalam proses pengadaan PKS dengan Indosat tersebut. Tetapi keyakinan tersebut ternyata bertolak belakang dengan apa yang terjadi di pengadilan.

Heru juga mengatakan bahwa penerapan skema terbuka lebih baik diberlakukan terhadap spektrum yang bersifat bebas.

“Open access relatif lebih mudah diterapkan pada spektrum frekuensi berbasis kelas seperti 2,4 GHz atau 5,8 GHz yang bersifat bebas (free), karena tidak menimbulkan implikasi keuangan bagi negara,” kata Heru kepada Bisnis, Senin (16/6/2025). 

Dia menuturkan penerapan skema serupa pada spektrum yang memiliki kewajiban Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi membutuhkan kejelasan skema pembayaran dan pengaturan teknis.

“Sebab kalau ada pemancaran BTS operator A, kemudian dipakai operator B, ini selama ini dianggap pelanggaran,” kata Heru.

Menurutnya, skema ini akan lebih efektif jika BHP frekuensi bisa dihapuskan untuk mendukung kolaborasi antar operator. Jika tidak, dia khawatir kebijakan ini justru menimbulkan persoalan baru.

Di sisi lain, Heru juga menyoroti pentingnya percepatan lelang frekuensi agar program pemerataan digital berjalan optimal. Dia menyebut Indonesia sudah terlambat dua tahun dalam proses lelang, khususnya pada pita 700 MHz yang seharusnya bisa dimanfaatkan lebih awal.

Heru menekankan pentingnya penyesuaian harga lelang agar tidak terlalu membebani operator. Jika biaya terlalu tinggi, operator bisa kesulitan melakukan pembangunan infrastruktur.

Heru mengingatkan saat ini regulatory cost di sektor telekomunikasi Indonesia sudah sangat tinggi. Untuk mendorong perluasan jaringan dan pemerataan layanan, diperlukan kebijakan insentif seperti pengurangan harga atau skema pembayaran yang fleksibel.

Dia juga menyebutkan bahwa saat ini telah tersedia berbagai model alokasi dan pembayaran spektrum yang bisa dipertimbangkan pemerintah, mulai dari skema pay as you grow, grace period, hingga relaksasi atau penghapusan BHP frekuensi dalam jangka waktu tertentu. 

“Tinggal dipertimbangkan mana yang lebih optimal bagi pemerintah, bagi masyarakat, dan operator telekomunikasi,” pungkas Heru.

Infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T
Infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T

Sebelumnya, Komdigi menyiapkan skema jaringan terbuka berbasis spektrum frekuensi baru untuk mendukung penyediaan layanan internet tetap berkecepatan tinggi di wilayah-wilayah yang belum terjangkau jaringan serat optik. 

Kebijakan tersebut dirancang untuk mendorong keterlibatan berbagai penyelenggara telekomunikasi dengan model open access, di mana pemegang izin jaringan wajib membuka infrastrukturnya untuk digunakan bersama. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, mengatakan langkah ini merupakan bagian dari strategi percepatan pemerataan digital nasional, sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Prabowo Subianto. 

“Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam pidato pelantikannya, Presiden menyampaikan secara berulang pentingnya digitalisasi untuk meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat,” kata Meutya dalam pertemuan dengan pimpinan Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XL Smart di Jakarta, pada Kamis (12/6/2025).

Spektrum baru yang akan dialokasikan itu disiapkan melalui proses seleksi operator yang berlangsung secara transparan dan akuntabel. Meutya menambahkan kebijakan spektrum ini tidak semata berfokus pada regulasi, tetapi juga mengedepankan keterlibatan dan kesiapan industri.

“Ini adalah langkah kami dalam memastikan bahwa setiap kebijakan spektrum tidak hanya mengutamakan aspek regulasi, tapi juga membuka ruang seluas-luasnya untuk keterlibatan dan kesiapan industri,” jelasnya.

Komdigi juga telah merampungkan penyusunan Peraturan Menteri yang menjadi landasan hukum dari program internet murah tersebut. Regulasi ini telah melalui masa konsultasi industri selama lebih dari satu bulan. Ke depannya, pemilihan operator penyedia jaringan akan mengedepankan kesiapan teknologi dan komitmen untuk menyediakan layanan dengan harga yang terjangkau.

Sebelum peluncuran kebijakan ini, pemerintah telah melakukan pertukaran pandangan dengan sejumlah operator seluler terkait penyediaan akses internet tetap hingga kecepatan 100 Mbps, khususnya di wilayah yang belum memiliki infrastruktur serat optik seperti sekolah, puskesmas, dan kantor desa.

Menurut data Direktorat Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi, saat ini 86% sekolah atau sekitar 190.000 unit belum memiliki akses internet tetap. Sementara itu, 75% Puskesmas atau sekitar 7.800 unit belum terkoneksi dengan baik, dan sebanyak 32.000 kantor desa masih berada dalam zona blank spot. Adapun penetrasi fixed broadband di rumah tangga baru mencapai 21,31% secara nasional.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper