Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengaku kesulitan menangani masalah maraknya perusahaan-perusahaan di Tanah Air yang mengoperasikan perangkat lunak (software) tanpa lisensi.
Kepala Seksi Pencegahan, Direktorat Penyidikan DJKI, Kemenkumham, Anang Pratama, mengatakan hal tersebut tidak terlepas dari faktor terbatasnya ruang yang dimiliki lembaga tersebut dalam hal penanganan penggunaan perangkat lunak bajakan.
“Sesuai regulasi, penegakan hukum terkait dengan software bajakan ada UU Nomor 28 Tahun 2014. Jadi, apabila tidak ada aduan atau pencatatan, maka kami akan mengalami kesulitan,” ujar Anang dalam acara bertajuk Legalize and Protect di Jakarta, Senin (18/3/2019).
Sebagai gambaran, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, disebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan hak cipta secara efektif dilakukan melalui proses mediasi, arbitrase atau pengadilan, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana.
Sementara itu, Kasubdit Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa Kemenkumham, Irbar Susanto, mengatakan maraknya penggunaan perangkat lunak ilegal oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia telah merugikan serta mempersempit ruang pemerintah untuk melakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menanggulangi pembajakan.
Dia mengungkapkan, dari 2015 sampai dengan 2018 hanya sekitar 100 perusahaan perangkat lunak yang mendaftarkan hak ciptanya ke pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya kewajiban bagi perusahaan-perusahaan software untuk mendaftarkan hak cipta.
Adapun, berdasarkan data yang dirilis BSA | The Software Alliance, APAC, pada 18 Maret 2019 berjudul Legalize and Protect: A Campaign To End Corporate Use of Unlicensed Software in Indonesia, persentase penggunaan perangkat lunak bajakan di Tanah Air pada 2017 tercatat sebagai yang tertinggi kedua untuk kawasan Asia Pasifik, yakni 83%. Angka tersebut sama dengan Pakistan yang juga memiliki persentase 83%.