Konsumsi Berita Melalui Facebook Turun, Beralih ke WhatsApp

Martin Sihombing
Kamis, 14 Juni 2018 | 21:18 WIB
Ilustrasi/Botswanayouth
Ilustrasi/Botswanayouth
Bagikan

Bisnis.com, LONDON -  Banyak orang beralih dari Facebook ke ajang tertutup, seperti, WhatsApp, untuk membahas berita harian karena kekhawatiran tentang privasi, cerita palsu, dan perbantahan sengit, kata jajak pendapat, Kamis (14/6/2018).

Laporan Berita Digital terbaru dari Lembaga Reuters untuk Kajian Jurnalisme menemukan  konsumsi berita melalui Facebook menurun, terutama di kalangan anak muda, yang lebih menyukai WhatsApp, Instagram, dan Snapchat.

"Orang sedikit bosan dengan Facebook," kata Nic Newman, penulis utama laporan tahunan ketujuh itu kepada Thomson Reuters Foundation.

Facebook tetap menjadi jejaring gaul paling disukai untuk berita, dengan yang menggunakannya sebanyak 36 persen dalam minggu belakangan. Tapi, mereka kehilangan genggaman dari ajang lain, terutama WhatsApp, yang ketenarannya melonjak 15 persen sebagai sumber berita dalam empat tahun belakangan.

Orang di negara dengan perpecahan kelompok merasa lebih nyaman mengobrol di ajang tertutup agar tidak memunculkan bahaya dalam mengungkapkan pandangan politik secara terbuka, di Malaysia dan Turki, misalnya, kata kajian itu.

Petanggap mengatakan sering menemukan cerita di Facebook dan Twitter dan mengunggahnya ke grup WhatsApp untuk dibahas dengan sekelompok lebih kecil teman.

Meskipun banyak kegagaln Facebook disebabkan oleh perubahan algoritma, yang memprioritaskan interaksi dengan keluarga dan teman, kepercayaan juga menjadi perhatian utama.

Hanya 23 persen dari 74.000 orang yang disurvei di 37 negara mengatakan mereka percaya berita di media sosial, dibandingkan dengan kepercayaan 44 persen dalam berita secara keseluruhan.

Lebih banyak orang membayar untuk berita daring di beberapa negara, contohnya di Norwegia yang mencapai 30 persen, dengan sumbangan juga muncul sebagai strategi alternatif, kata studi oleh Institut Reuters, yang didanai oleh Thomson Reuters Foundation.

"Orang-orang menemukan bahwa beberapa berita layak untuk dibayar, tetapi sebagian besar tidak," kata Direktur Penelitian Institut Reuters, Rasmus Kleis Nielsen, dalam sebuah pernyataan.

"Tantangan bagi penerbit sekarang adalah memastikan bahwa jurnalisme mereka betul-betul berbeda, relevan, dan berharga, dan kemudian secara efektif mempromosikannya untuk meyakinkan orang untuk menyumbang atau berlangganan," katanya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Martin Sihombing
Sumber : ANTARA/REUTERS
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper