13 Agustus 1985, pukul 23.00, di rumah Kramat V No. 8
(Malam ini 31 tahun lalu)
Mikrowa Kirana, kini Direktur PT Bank Bukopin, harus mengecek ulang halaman 1 edisi perdana Bisnis Indonesia. Abdullah Alamudi, berkata kepadanya. "Ini hari bersejarah, Anda akan dikenang sepanjang massa karena piket menangani edisi pertama koran ini," begitu pernyataan Alamudi kepada Nana, panggilan akrab Mikrowa.
Nana mengaku berkeringat dingin. Ia takut salah. Saya juga tak kalah takut. Sebagai korektor, jika ada typo atau ejaan tak sesuai kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, sayalah yang digantung. Alamudi beberapa kali menekankan bahwa fungsi korektor sebagai final product controller sangat vital, itulah yang membuat saya sangat takut.
Nana adalah satu dari 20 wartawan Bisnis Indonesia yang bekerja sejak 1 Agustus 1985 untuk mempersiapkan penerbitan koran ini. Wartawan lainnya adalah Moh. Imam Bahtera, Suhardiyoto, Bambang Istijab, Bambang Adipurwa, Jacobus Blikololong, Andrianus Pao, Des Alwi, Rahmayulis Saleh, Hilda Sabri, Duhita Hayuningtyas, Sri Rejeki Handayani alias Menuk Soewondo, Retno Indarti Dharmojo, Andi F. Noya, Nono Budiono, Nano Sungkono, Herry Suhendra, Adolf Hutabarat, dan Rosadi Ruslan.
Di bawah komando Amir Daud sebagai pemimpin redaksi, ada redaktur senior Abdullah Alamudi dan dua orang redaktur yaitu Ery Soedewo dan Mansur Amin. Desk foto digawangi oleh Syahrir Wahab dengan fotografer Mochtar Zakaria, Wahyoe Hendrodjanoe dan Bambang Harsri Irawan. Tak satu pun di antara mereka yang kini masih di Bisnis Indonesia. Ada keluar pada tahun-tahun awal karena pindah ke perusahaan lain, pensiun dini, namun ada juga sampai lulus di usia 55 tahun.
***
Setelah 4 bulan, 13 hari mempersiapkan kelahiran koran ini, akhirnya terbit juga surat kabar yang dinanti-nanti paling tidak oleh awak redaksi. Dari Kramat V, saya bersama Sarmili, staf produksi, langsung naik motor ke Palmerah, tempat Bisnis Indonesia dicetak di percetakan PT Temprint.
Pak Sukamdani dan Ibu Sukamdani, datang ke percetakan pukul empat pagi. Dari manajemen ada Pak Lukman Setiawan, petinggi redaksi yang hadir adalah Abdullah Alamudi. Pernah melihat koran lahir? Tanya Pak AA kepada saya, "Pernah Pak, Harian Terbit." Sebelum bekerja di Bisnis Indonesia saya memang bekerja di PT Metro Pos yang mencetak koran Pos Kota dan Harian Terbit.
Menjelang terbit, sejumlah wartawan berpengalaman bergabung ke jajaran redaksi a.l. Banjar Chaeruddin, Nur Hidayat, Eddy Prabowo, Arsyad Yahya Ritonga dan Ida Bagus Oka Harimurti, sebagai redaktur. Mas BC, panggilan akrab Banjar Chaeruddin menangani halaman Nusantara, Pak Nur pegang halaman Opini dan Santai, Pak Eddy handle olahraga dan Pak Arsyad halaman Kota.
Beberapa wartawan lain menyusul sebagai reporter seperti Emron Pangkapi, Yan Triasmoro, dan Tridoso Marto Kuntobharoto. Ada juga wartawan stringer yang ikut mempersiapkan edisi perdana yaitu Turman Panggabean, Adi Sutadi, Nuhasyim N. Soleh, dan Tanda Brahmana.
Banyak dukanya daripada suka di kantor Kramat V. Dua tahun pertama hidup penuh kesulitan dan koran belum diterima pasar. Sebagai koran ekonomi terbit 12 halaman, namun didominasi konten umum yang terdiri dari 3 halaman olahraga, 2 halaman internasional, Nusantara, Santai dan Opini. "Koran kita nggak laku, gue bawa balik lagi ke kantor," kata Abdul Jamalsyah, staf bagian sirkulasi, sambil membanting koran.
****
Dua tahun yang sulit, akhirnya terjadi penggantian pemimpin redaksi. Pak Amir harus rela meninggalkan Bisnis, digantikan Pak Sukamdani yang ikut ujian tertulis sebagai wartawan di PWI Jaya.
"PWI menjual kartu pers kepada pengusaha," begitu tulis majalah Editor.
Setahun kemudian, Bisnis Indonesia mulai dikenal publik pembaca dari kalangan dunia usaha. Ini hikmah dari kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi.
Biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam, seperti ongkos pendaftaran emisi efek, dihapuskan. Selain itu dibuka pula kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi.
Pakdes 87 juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memperkenalkan bursa paralel. Sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.
Berkah makin melimpah setelah Pakto 88 yang isinya tentang kebijakan pada sektor perbankkan, namun mempunyai dampak terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan tentang ketentuan 3 L (Legal, Lending, Limit), dan pengenaan pajak atas bunga deposito.
Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Sebab dengan keluarnya kebijakan ini berarti pemerintah memberi perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan sektor pasar modal.
Pakto 88 adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan. Pemberian izin usaha bank baru yang telah diberhentikan sejak 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru.
Bankir dan pengusaha makin banyak yang membaca Bisnis. Pada Desember 1989, pasar modal booming. Bisnis menjadi satu-satunya koran yang setia meliput aktivitas bursa sehari-hari. Utari Sulistyowati sebagai pengola halaman bursa sibuk luar biasa. Saya dan Anna Marwiyati bersama Nurman Jalinus yang meliput bursa, bangga karena selalu ditunggu-tunggu ketika akan konferensi pers perusahaan go public atau pun public ekspos.
Di setiap detik akan ada pertumbuhan, di setiap jam akan ada perubahan, di setiap hari akan ada tingkatan, di setiap pekan akan ada pembaharuan, di setiap bulan ada gajian dan di setiap tahun selalu ada yang ulang tahun. "Met ultah Bisnis Indonesia"