Bisnis.com, JAKARTA - “Kemajuan teknologi didasarkan bagaimana membuatnya cocok sehingga Anda tidak benar-benar menyadarinya, hingga menjadi bagian keseharian dalam hidup.”
Rangkaian kutipan di atas merupakan sebuah pesan salah satu penemu teknologi modern Bill Gates. Menurut pendiri perusahaan teknologi raksasa Microsoft ini teknologi tak bisa dihindari dan diabaikan, telah menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat.
Bukan hanya masyarakat perseorangan yang ketergantungan dengan teknologi. Industri pun kini lekat dengan teknologi. Pemanfaatan teknologi dinilai menjadi salah satu kunci bertahan suatu industri di tengah modernisasi saat ini.
Industri finansial merupakan salah satu yang tak lepas dari pemanfaatan teknologi karena peranannya yang krusial. Potensi tersebut dilihat oleh para pendiri perusahaan rintisan (start-up) sebagai peluang emas.
Financial technology atau yang terkenal dengan nama fintech sering disebut pula sebagai disruptive innovation. Pasalnya, inovasi disruptif memang menciptakan pasar baru dengan inovasi, tetapi bisa merusak pasar konvensional yang sebelumnya berjalan.
Namun, pasar baru yang terbentuk dinilai menjadi peluang emas untuk membuat tatanan industri dan masyarakat di suatu negara menjadi lebih baik.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Accenture mengungkapkan investasi global dalam pasar fintech naik hingga tiga kali lipat dari US$928 juta menjadi US$2,97 miliar. Pertumbuhan tersebut terjadi dalam kurun waktu 2008 hingga 2013 dan diprediksi terus meningkat pada 2018 yang diprediksi berkisar pada US$6 miliar hingga US$8 miliar.
Sedangkan studi yang dilakukan di wilayah Asia Pasifik, nilai investasi di dalam bidang fintech sudah mencapai US$3,5 miliar atau hampir empat kali lebih besar dari investasi sepanjang 2014 yang mencapai US$880 juta.
Di pasar global, deretan nama terkenal seperti Bitcoin dan Moneythor sudah memiliki pasar fintech sendiri. Sedangkan di Tanah Air, beberapa nama startup fintech mulai bermunculan seperti Doku, Kesles, Veritrans, dan Dimo Pay.
Layanan yang menjadi fokus setiap fintech memang berbeda-beda. Ada yang berfokus sebagai penyedia layanan keuangan, alat pembayaran tagihan hingga fokus terhadap bisnis mikro. Namun, benang merah dari semua perusahaan fintech adalah solusi teknologi inovatif dalam sistem keuangan untuk para konsumen.
Berdasarkan data World Bank pada 2014, penetrasi keuangan di Indonesia baru mencapai 35,8% dan fintech dinilai dapat mengambil peranan untuk percepatan penetrasi layanan keuangan sejalan dengan penetrasi broadband yang tengah digalakkan oleh pemerintah.
REVOLUSI INDUSTRI FINANSIAL
Beberapa waktu lalu, CEO Dimo Pay Indonesia Brata Rafly mengungkapkan saat ini terjadi revolusi industri keempat yakni meleburnya garis batasan dunia digital, fisik dan biologi. Revolusi industri keempat ini dilandasi oleh teknologi baru yang mulai mengubah seluruh rantai produksi dan manajemen di setiap cabang industri di dunia.
“Di industri keuangan dapat ditemukan dalam bentuk financial technology (fintech) yang belakangan ini semakin populer dan kerap digunakan oleh kalangan penggiat teknologi dan media,” ujarnya.
Brata mengungkapkan industri fintech memiliki peluang untuk membawa perubahan ke dalam keseluruhan industri keuangan di Indonesia.
Fintech dengan pasar yang luas tidak dibatasi perusahaan untuk memilih layanan finansial apa yang akan diberikan. Fintech pun tak terbatas bagi startup saja.
Perusahaan establish dan tak bergerak di bidang keuangan tak menutup kemungkinan untuk menjajal sektor potensial ini. Salah satu yang langsung gesit menggarap sektor tersebut adalah operator telekomunikasi.
Selain para start up yang identik dengan teknologi. Industri telekomunikasi merupakan industri yang diwajibkan adaptif terhadap pergerakan teknologi sekecil apapun.
Industri telekomunikasi yang sempat jenuh dengan layanan suara dan pesan singkat mulai bangkit dan menjajal pasar digital. Salah satu konten yang dapat diberikan adalah layanan keuangan digital.
Beberapa riset mencatat ini jumlah antara pengguna layanan perbankan dan seluler masih terpaut jauh. Pengguna perbankan diperkirakan mencapai 60-70 juta, sedangkan unique account di seluler mencapai 160-170 juta.
Ketimpangan tersebut menjadi peluang emas bagi para operator untuk segera menggarap mobile payment. Group Head Mobile Financial Services Indosat Ooredoo Randy Pangalila mengungkapkan gaya hidup masyarakat yang mendorong penggunaan layanan pembayaran digital meningkat.
“Dalam kurun waktu tiga bulan, bisa dihitung berapa kali konsumen pergi ke bank dan dibandingkan dengan jumlah konsumen pergi ke coffee shop. Gaya hidup yang berubah menjadi peluang untuk layanan keuangan digital,” paparnya.
Beberapa mobile financial services (MFS) yang dimiliki oleh para operator telekomunikasi adalah Dompetku dan Dompetku+ dari Indosat Ooredoo, XL Tunai dari XL Axiata dan T-Cash dari Telkomsel.
Walaupun layanan MFS para operator belum sebanyak jumlah pelanggan selular mereka, namun berdasarkan laporan keuangan operator layanan digital masing-masing operator terus tumbuh years on year.
Indosat Ooredoo tercatat memiliki volume transaksi pada 2015 sebanyak 42 juta, atau tujuh kali lipat lebih besar dibandingkan dengan 2014 yang sebanyak 5,3 juta dan catatan nilai transaksi MFS pada 2015 sebesar Rp2,5 triliun. Nilai transaksi ini tumbuh lebih dari 13 kali ketimbang catatan pada 2014 yang sebesar Rp 0,19 triliun.
Sedangkan XL Axiata, posisi XL Tunai mencatatkan net revenue di atas Rp70 miliar dengan pengguna 1,7 juta dan ditargetkan terus bertumbuh sejalan dengan total pertumbuhan layanan Value Added Service (VAS) XL Axiata yang tumbuh year on year (yoy) sebesar 12%. Terakhir, bisnis digital Telkomsel menyumbang 29,5% dari total pendapatan meningkat dari 23,6% tahun sebelumnya.
Antusiame para operator telekomunikasi dan startup menggarap pasar fintech bisa dijadikan gambaran betapa potensialnya pasar tersebut terutama jika didukung oleh ekosistem digital lainnya.