Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah kondisi pelemahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS saat ini, semua sektor industri tak terkecuali telekomunikasi mengalami tekanan.
Sebagai catatan, penutupan kurs tengah Bank Indonesia, Jumat (11/9/2015), menunjukkan nilai tukar rupiah telah menyentuh Rp14.306/US$. Tekanan tak hanya terjadi di Indonesia. Pelemahan nilai tukar juga terjadi di beberapa negara namun dengan dampak yang beragam.
Apa yang membuatnya unik untuk konteks sektor telekomunikasi Indonesia?
Menarik menyimak prediksi Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Alexander Rusli yang berpendapat bagi kalangan operator telekomunikasi, pelemahan rupiah belum akan berdampak dalam jangka pendek.
Meskipun pendapat ini seolah ‘menenangkan’, namun Alex menengarai jika pelemahan terjadi secara berkepanjangan maka cepat atau lambat akan menimbulkan masalah juga.
“Dalam jangka pendek ini tidak akan mengganggu. Tetapi tahun depan dan berikutnya, jika kami tidak mengeluarkan dana sesuai dengan yang direncanakan maka akan berpengaruh terhadap bisnis ke depan,” tegas Alex.
Pendapat senada diungkapkan oleh Presiden Direktur PT Smartfren Telecom Tbk Merza Fachys. Menurutnya, melemahnya nilai rupiah saat ini merupakan salah satu indikator adanya masalah dalam perekonomian Indonesia.
“Bila keadaan ini berlangsung berkepanjangan, maka dampaknya akan sangat berat bagi operator, terutama operator yang masih memiliki tingkat EBITDA negatif atau positif tetapi sangat tipis,” ungkap Merza.
Kelompok ini, paparnya, memiliki persentase 60%-70% dari biaya adalah fixed cost dan setidaknya 80% inves-tasi dilakukan dalam nilai valuta asing (valas) dan 90%-95% pelanggan adalah mid-low economy earner, yakni masyarakat yang terkena dampak paling berat untuk daya beli.
Keadaan ini tentu membuat para pelaku bisnis menunggu langkah pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dipercaya akan memperbaiki kondisi perekonomian negara ke arah lebih baik.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan paket kebijakan tahap I yang akan menitikberatkan pada tiga hal yakni mendorong investasi di sektor properti, mempercepat proyek-proyek strategis nasional dan meningkatkan daya saing industri.
Lepas dari pengaruhnya terhadap industri telematika, secara khusus di sektor industri Telekomunikasi, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sendiri mendorong para pelaku bisnis melakukan efisiensi industri.
“Dari pemerintah bisa efisien dengan pemangkasan biaya regulasi. Bagaimana memudahkan regulasi dan perizinan. Jadi yang penting adalah efisiensi,” ujar Rudiantara.
Sementara itu dari segi pelaku usaha, pihaknya tengah mendorong efisiensi industri telekomunikasi dengan menggeser passive sharing menjadi radio active network. Pasalnya, hal ini akan menjual cost per unit yang lebih murah. Tentu saja, niat dan imbauan itu disambut positif oleh kalangan pelaku industri.
Pertanyaannya, sejauh mana ini terlaksana?
Alex yang juga menjabat sebagai CEO Indosat menyatakan pihaknya sangat terbuka untuk melakukan efisiensi di industri dengan berbagi infrastruktur guna menurunkan biaya operasional dan meningkatkan layanan yang ada.
“Infrastructure sharing sudah lama dilakukan. Pertama, yang dilakukan adalah tower sharing. Saat ini sedang dikaji lagi active infrastructure sharing. Apakah membutuhkan peraturan pemerintah dan langkah lain. Intinya bagaimana caranya untuk save cost supaya bisa men-delivery services secara lebih murah,” ujarnya.
Namun, sebelum semangat berbagi infrastruktur ini direalisasikan, banyak pihak mengharapkan pemerintah perlu memperjelas batasan-batasan yang bisa dilakukan oleh para operator guna mendorong efisiensi.
BATASAN
Rupanya, harapan ini bagaikan 'gayung bersambut'. Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna mengatakan batasan-batasan bagi penyelenggara jaringan telekomunikasi terkait dengan infrastructure sharing akan segera diperjelas.
Menurutnya, jika mengacu kepada UU Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah No. 53/2000, saat ini posisi yang memungkinkan untuk dilakukan adalah infrastructure sharing seperti menara, base transceiver stations (BTS) hingga kebutuhan kabel fiber optic.
“Sedangkan untuk berbagi frekuensi masih belum bisa dilakukan dalam arti apabila frekuensi tersebut digunakan secara bersama maka si pengguna harus membayar masing-masing karena terkait biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi radio,” ujarnya.
Prihadi menambahkan pihaknya saat ini sedang mendiskusikan sejauh mana batasan infrastructure sharing jaringan diperbolehkan agar tidak terjadi polemik dan silang sengketa. Pemerintah, misalnya, akan mematangkan batasan sejauh mana sharing tersebut boleh dilakukan. Sementara untuk sharing jaringan yang menggunakan frekuensi, sejauh mana batasan diberlakukan agar sharing tersebut tidak menjadi sharing frekuensi.
Perlu dicatat, regulasi yang tengah dimatangkan pemerintah dan langkah yang diambil oleh para pelaku bisnis diharapkan bermuara pada efisiensi industri sehingga pada akhirnya
masyarakat bisa menerima layanan yang tetap terjaga kualitasnya. Di sisi lain, dengan terobosan ini semua tentu menginginkan industri kian kuat meskipun dalam kondisi perlambatan ekonomi terutama depresiasi rupiah saat ini. Semoga.