Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mendesak pemerintah untuk segera merevisi keberadaan Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) karena keberadaannya meresahkan kemerdekaan berekspresi dan berpendapat masyarakat.
Menurut Peneliti ELSAM, Wahyudi Djafar hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa apabila UU ITE ditinjau secara keseluruhan, pengaturan yang termaktub di dalamnya nampak sangat dipaksakan, karena memadukan banyak norma hukum yang pengaturannya dapat dilakukan dalam instrumen hukum yang terpisah.
Hal ini menyebabkan aspek-aspek pengaturan dalam UU ITE tidak koheren antara satu dengan yang lainnya dan banyaknya aspek yang berusaha diatur justru membuat pendalaman norma hukumnya menjadi dangkal.
Menurutnya, yang paling krusial adalah terkait keberadaan Pasal 27 ayat (3) yang mengatur ancaman pidana penghinaan dan pencemaran nama baik, dengan ancaman pidana penjara lebih dari 5 tahun.
"Selama ini pasal itu seringkali menjadi mekanisme pembalasan dendam (retaliation) dari pihak yang tidak suka dengan postingan seseorang terhadap dirinya," ujarnya, Kamis (16/10/2014).
Faktanya, lanjut Wahyudi bahwa memang pasal itu seringkali digunakan oleh orang kuat yang punya kekuasaan (power full) untuk mengekang orang yg lemah (power less). Hal ini terbukti dari beberapa kasus, seperti misal Prita Mulyasari, Arsyad, dll.
Akibatnya, keberadaan pasal tersebut menciptakan efek ketakutan (chilling effect) terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Orang menjadi merasa khawatir dan terancam, ketika akan memosting sesuatu, ekspresinya tidak merdeka. Selain itu, permasalahan lainnya adalah minimnya pengaturan konten, khususnya yang terkait kategori konten yang dilarang dan bagaimana prosedur penangannya (filtering and blocking), sehingga dalam beberapa kasus masih terjadi over blocking (tindakan salah blokir).
"Kendala utama penerapan UU ITE tidak adanya pemahaman yang seragam dari aparat penegak hukum terhadap UU ITE, terutama terkait elemen-elemen pidana," ujarnya.
Selain itu, paradigmanya juga masih paperbase belum paperless, sehingga seringkali terjadi persoalan dalam pembuktian, sehingga perlu dilakukan amandemen menyeluruh terhadap UU ITE tersebut agar tidak usang dengan perkembangan pemanfaatan teknologi internet hari ini.
Dia mencontohkan keberadaan ancaman pidana penghinaan dan pencemaran nama baik, hal itu tidak perlu, karena KUHP juga masih mengaturnya.
Keberadaan ancaman tersebut dalam UU ITE justru menciptakan ketidakpastian hukum, karena ada yang dijerat dengan KUHP yang ancaman hukumannya lebih rendah, sementara di pihak lain ada yg diancam UU ITE dengan ancaman pidana sangat tinggi.
Selain itu, ada juga kecenderungan internasional untuk melakukan dekriminalisasi pidana penceraman nama baik, diubah menjadi urusan keperdataan.
"Perlu juga pengaturan konten yang lebih menyeluruh, termasuk otoritas mana yang mengawasi konten, kategori yang jelas mengenai konten yg dilarang, hukum acara/prosedur untuk memblokir atau menapis suatu konten, dengan alasan apa, dll," paparnya.
Memperhatikan kondisi demikian, pihaknya mendesak dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, adanya perubahan paradigma dalam penyusunan kebijakan yang menempatkan hak untuk mengakses internet sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Kedua, dalam konteks pemidanaan, penting untuk meninjau kembali seluruh ketentuan yang mengatur pemidanaan, untuk kemudian menghapuskan seluruh duplikasi tindak pidana dari UU ITE, karena sudah diatur di dalam KUHP.
Selain itu penting juga mempertimbangkan usulan untuk menghapuskan ketentuan pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (dekriminalisasi).
Ketiga, kaitannya dengan praktik pemblokiran konten internet harus diatur oleh hukum yang jelas dan dapat diakses oleh semua orang dan kewenangan pemblokiran harus diberikan pada badan yang independen dari pengaruh politik, komersial atau pihak yang tidak berwenang, tidak secara semena-mena ataupun diskriminatif.
Keempat, secara proses sudah semestinya pengambil kebijakan menggunakan pendekatan multi-pemangku kepentingan (multistakeholderism), seperti pemerintah, sektor bisnis (penyedia layanan), kelompok teknis, organisasi masyarakat sipil, termasuk di dalamnya pengguna internet.
Sementara itu, Peneliti Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), Damar Juniarto menyatakan bahwa begitu mudahnya seseorang terjerat UU ITE menyebabkan terjadinya krisis pemikiran kritis pada masyarakat.
"Di Makassar, misalnya, banyak orang yang takut untuk mengemukakan pemikiran kritisnya melalui internet," ujarnya.
Menurutnya ancaman pidana dari pasal 27 ayat (3) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
"Efek dari pasal ini mampu membuat orang takut menyampaikan pendapat pada media sosial. Karena ancaman hukuman pidana lebih dari lima tahun bisa langsung dikenai tahanan," katanya.
Selain itu, dari kasus yang berkaitan dengan UU ITE terjadi peningkatan signifikan setiap tahunnya semenjak diberlakukan pada 2008.
Menurutnya, sebanyak 30 kasus terkait UU ITE terjadi dalam kurun waktu 2008-2013 dengan mayoritas terkait kasus penghinaan dan/atau pecemaran nama baik.
"Yang fonemenal adalah data khusus 2014 saja, sudah mencatatkan 36 kasus hingga Oktober. Ini menjadi perhatian serius bagi kemerdekaan berekspresi dan berpendapat masyarakat," kata Damar.