Reddy Hartadji : Mereka Merupakan Amanah

News Editor
Rabu, 24 Oktober 2012 | 08:38 WIB
Bagikan

Sempat terpuruk akibat tergiur bisnis perkebunan, Reddy Hartadji bangkit kembali melalui usaha impor anggur, sebelum akhirnya mendapatkan sejumlah momentum terbaik di dunia realestat.

Sukses membangun Botani Square, dan proyek-proyek rusunami, di bawah kendalinya Bahama Group pun siap ekspansi ke properti high end. Untuk mengetahui lebih jauh tentang perjalanan dan kiat bisnis pehobi motor gede ini, Bisnis mewawancarai Reddy. Berikut petikannya: 

Bagaimana pasang surut Anda dalam membangun usaha?

Semua pengusaha pasti mengalami banyak tahapan dalam membesarkan usahanya. Ada yang namanya tahap­an survival, tahapan mencari jati diri lah, mencoba sana-sini. Lalu ada ta­­hap­an development atau pengembangan, kemudian tahapan establishment.

Namanya pasang surut itu paling banyak saya alami ketika di tahapan survival. Saya masuk di bisnis pro­perti justru baru pada akhir-akhir, pada 2005. Saya memulai bisnis pada awal 1990-an dan mencoba beberapa usaha. Di situ ada pengalaman pahit yang saya dapatkan. 

Apa pengalaman pahit itu?

Pada waktu itu saya punya usaha kontraktor, lalu tergiur untuk ikut-ikutan terjun ke bisnis perkebunan. Saya paksakan diri membeli perke­bun­an di Sumatra Selatan. Ini karena ego saya sebagai lulusan IPB (Institut Pertanian Bogor).

Dan, ternyata, bisa dikatakan belum waktunya atau masih terlalu prematur bagi saya. Baik dari kemampuan pri­badi, maupun pendanaan sehingga usaha itu harus dijual dalam kondisi tidak baik atau bangkrut.

Semuanya saat itu habis, hanya tertinggal baju dan sopir saya yang namanya Udin. Itulah pengalaman paling pahit saya sebagai pengusaha. 

Lalu bagaimana Anda bangkit kembali?

Dari hasil penjualan usaha perkebunan itu, masih ada sedikit dana sisa yang saya gunakan untuk usaha impor anggur (wine), dan ternyata cukup berhasil, tapi sejak 2005 tidak lagi saya pegang, karena saya masuk ke bisnis properti dengan mengembangkan proyek multiguna Botani Square di Bogor. 

Jadi Botani Square adalah momentum Anda di dunia ­realestat?

Iya. Pada 2003-2004, Bogor menjadi rebutan ritel hipermarket, karena menjadi hub kota-kota di sekitarnya. Dan mereka berpikir hanya satu brand hipermarket yang bisa berkembang di kota tersebut.

Di sisi lain, IPB ketika itu memiliki lahan yang cukup luas sekitar 42 hektare, dan saya sebagai alumnus menawarkan kepada rektor untuk mengembangkan lahan itu menjadi area komersial multiguna. Kemudian disetujui.

Saya lalu mengadu dua peritel ternama untuk membuka gerainya di lahan tersebut, siapa yang mampu membayar lebih banyak dan cepat. Ritel Giant langsung memberi jawab­an dengan membayar Rp65 miliar untuk sewa jangka panjang. Dana tersebut kemudian saya gunakan untuk mengembangkan Botani Square, seperti yang ada sekarang ini. 

Bagaimana ceritanya Anda bisa terjun di proyek-proyek rumah susun?

Setelah mengembangkan Botani Square, pada 2008, Jusuf Kalla yang menjabat Wakil Presiden meluncurkan program 1.000 menara rusunami (rumah susun sederhana hak milik).

Saya pernah baca buku Donald Trump, bahwa kalau berbisnis itu harus berdampingan dengan political will dari pemerintah. Dan, kalau ikut political will dari pemerintah maka kita harus sportif.

Maka dari itu, saya paksakan membangun rusunami Menara Cawang, dan berlanjut ke menara-menara lainnya. Total kami  telah membangun 4.000 unit rusunami yang tersebar di Menara Cawang, Menara Latumenten, Menara Kebun Jeruk, dan Menteng Square. 

Ada rencana membangun Rusunami lagi?

Saya tinggal tunggu dari Pak Gubernur. Rumus, itu kan sudah jelas.

Ada yang bilang apartemen menengah atas di Jakarta sudah mulai berlebih?

Yang kosong itu justru yang high-end dan rusunami. Apartemen segmen tengah malah banyak bersaing, maksudnya yang Rp15 juta, Rp12 juta, atau 20 juta, tapi [tidak] yang high end, memang cukup berat ya, tapi demand and supply-nya juga tidak begitu banyak. 

Lalu bagaimana peluang menambah apartemen?

Begini ya, populasi Jakarta itu mencapai 12 juta penduduk kalau siang. Kalau malam 8 juta, berarti ada 4 juta orang yang berada di luar Jakarta atau commuter yang bisa menempuh 2-3 jam perjalanan [ke Jakarta].

Awal 1990-an orang tua kita, mungkin ada yang beli rumah di Bekasi belum macet, sampingnya jalan tol, sekarang juga 3 jam. Lalu dengan harga yang sama bisa beli apa, beli di Bekasi macet dan akan terus begitu, maka itu namanya back to city.

REI berharap Pak Jokowi [Gubernur DKI] segera merampungkan MRT, segera merampungkan sarana publik, supaya ini tercapai, mungkin banyak orang juga sudah lelah. Nah ini harapannya. 

Bagaimana dengan salah satu proyek prestisius Anda, Sea Sentosa Apartment di Bali?

Itu juga salah satu momentum terbaik saya di dunia realestate. Proyek hasil kerja sama dengan Sentosa Worldwide Resorts ini sempat memenangi berbagai penghargaan di dunia internasional, seperti The Best Apartment di Indonesia dan Asia Pasifik.

Ke depannya, kami akan terus mengembangkan properti-properti high end dengan brand Sentosa, seperti Sentosa Residence di Cempaka Putih yang segera diluncurkan.

Saya masih optimistis dengan pasar properti di Indonesia, terutama bila ditinjau dari indikator ekonomi makro. Dalam 10 tahun mendatang, ekonomi kita akan terus bertumbuh dan berimbas positif ke industri real­estat.

Beberapa orang bilang, terutama di Jakarta, bahwa harga properti khususnya apartemen sudah mencapai puncak, tetapi saya yakin tidak akan ada koreksi harga. Paling buruk pertumbuhannya stagnan atau flat. 

Apa filosofi yang Anda pegang dalam mengembangkan bisnis?

Saya memandang proyek-proyek yang kami kerjakan sebagai karya sebuah tim. Obsesi, jelas menjadi yang terbaik. Namun, moto yang selalu saya pegang adalah Lakukan yang Terbaik, Lalu Ikhlaskan Hasilnya.

Selama 20 tahun saya berkecimpung di dunia bisnis, 10 tahun terakhir adalah masa-masa saya merasa paling berkembang. Dengan para pegawai pun, kami berusaha menanamkan sense of belonging, bahwa yang mereka kerjakan saat ini juga untuk mereka sendiri, dan bahwa banyak orang yang iri dengan posisi mereka saat ini. Mereka juga merupakan amanah bagi saya. 

Dengan kesibukan Anda mengurus proyek, bagai­mana menyeimbangkan waktu dengan keluarga?

Keluarga adalah salah satu prioritas saya. Ketika saya tengah terpuruk yang ada di samping saya hanya istri, ketiga putri saya, dan si Udin yang telah 17 tahun menjadi sopir saya.Saya selalu mengalokasikan weekdays untuk total mengurus pekerjaan, dan akhir pekan sebagai waktu untuk bersama keluarga.

Yang jelas, saya memastikan ada pembinaan berkelanjutan bagi pendidikan putri-putri saya. Salah satu contohnya adalah memberikan pendidikan agama di sekolah dasar supaya pertahanan moralnya berasal dari diri sendiri.

Satu lagi, saya berprinsip, dalam membesarkan tiga anak perempuan, saya tidak boleh memarahi mereka secara langsung, harus lewat ibunya. Jadi dalam menyampaikan ketidaksetujuan, saya selalu melalui istri saya, kemudian dia yang menegur anak-anak. 

Bagaimana Anda memanfaatkan waktu luang?

Saya sering berlibur bersama keluar­ga. Saya bahkan punya cita-cita untuk mengunjungi tujuh keajaiban dunia. Saat ini yang belum kesampai­an adalah mengunjungi Taj Mahal di India, karena anak-anak saya tidak ada yang mau diajak ke sana.

Padahal, di usia saya ini, bepergian paling me­­nyenangkan kalau bersama keluarga.

Di bidang seni, saya suka lukisan. Di bidang olahraga, saya suka golf. Saya juga suka berkendara dengan motor gede Harley Davidson, bahkan tergabung dalam sebuah klub moge bernama Beyond. Kami sering touring ke daerah sekitar Jakarta hingga ke Bali. 

Punya rencana bagi putri-putri Anda untuk mengurus bisnis properti?

Mungkin saya berharap putri-putri saya mau mengurus bagian hospitality untuk sektor perhotelan, mengingat kami berencana mengembangkan hotel Savoya setiap tahunnya. 

Ada tokoh yang Anda idolakan?

Siswono Yudhohusodo [mantan Menteri Perumahan], saya suka membaca buku-buku beliau. Pas kebetulan naik haji 2006, saya satu grup dengan beliau. Waktu itu saya tidak kenal sama beliau, tiba-tiba minggu sekamar dengan beliau.

Waktu itu saya bertanya, Bapak itu sukses sebagai pengusaha, dan sebagai menteri apa kuncinya, jawabnya jangan sampai ada krisis. Mungkin itu filosofinya, beliau orang yang sangat humble.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : News Editor
Editor : Sitta Husein
Sumber : Bunga Citra Arum Nursyifani & Roni Yunianto
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper