Indonesia Disarankan Tiru Korsel dan China dalam Mengatur Whatsapp - Netflix Cs

Leo Dwi Jatmiko
Rabu, 23 Juli 2025 | 18:57 WIB
penyelenggara platform over the top Google FB twitter./Source: freepik.com
penyelenggara platform over the top Google FB twitter./Source: freepik.com
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia disarankan meniru Korea Selatan dan China dalam mengatur platform over the top (OTT) seperti Whatsapp, Netflix, TikTok dan lain sebagainya.

Ketegasan kedua negara dalam menghadapi OTT, membuat layanan berbasis aplikasi dari luar negeri tersebut akhirnya membayar denda kepada pemain lokal. 

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) Jerry Mangasas Swandy mengatakan Korea Selatan cukup tegas dalam mengatur OTT, dengan mewajibkan OTT untuk menjaga kualitas layanan ke masyarakat.

OTT juga wajib memberikan kontribusi kepada penyelenggara jaringan agar kapasitas jaringan operator dapat menampung seluruh trafik OTT, hal ini tertuang dalam Amandemen UU bisnis telekomunikasi Korea  Selatan sejak 2020. 

“Kita bisa mencontoh kasus operator telekomunikasi di Korsel melawan Netflix. Keberpihakan pemerintah terhadap industri nasionalnya besar sampai akhirnya operator Korsel menang di proses peradilan dan Netflix membayar kontribusi,” kata Jerry, dikutip Rabu (23/7/2025). 

Jerry menjelaskan bahwa penyelenggara jaringan selama ini telah melakukan investasi besar dan berkelanjutan dalam membangun infrastruktur digital nasional. Namun, lalu lintas data yang masif dari layanan OTT belum diimbangi dengan kontribusi yang sepadan terhadap beban infrastruktur yang digunakan.

Asosiasi lantas mendorong agar pemerintah menegakan regulasi yang berlaku perihal kontrol terhadap trafik OTT. 

Logo Netflix
Logo Netflix

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar), khususnya Pasal 15 ayat (6), disebutkan bahwa penyelenggara jaringan dapat melakukan pengelolaan trafik demi kualitas layanan dan kepentingan nasional.

Ketentuan ini juga diperkuat dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2021. Dengan kebijakan tersebut diharapkan beban trafik dapat dipikul bersama antara OTT dengan pengusaha internet dalam negeri. 

“Jangan sampai penyelenggara jaringan terus menanggung beban dan akhirnya tidak bisa memberikan layanan seperti sekarang ini, karena pelaku OTT terus tumbuh tanpa kewajiban yang proporsional sehingga pembangunan jaringan tidak bisa keep up,” kata Jerry. 

Apjatel menggarisbawahi bahwa trafik OTT kini mendominasi kapasitas jaringan, namun tanpa mekanisme berbagi tanggung jawab yang adil (fair share), hal ini berisiko melemahkan ketahanan dan ketersediaan jaringan pada masa depan. 

Jika pemerintah hanya membiarkan OTT mengeksploitasi trafik di Indonesia tanpa ada kontribusi maka operator telekomunikasi tidak dapat mengimbangi penyediaan kapasitas trafik di Indonesia yang berdampak pada menurunnya kualitas layanan OTT itu sendiri.

Menurutnya saat ini operator berdarah darah membangun jaringan untuk menyediakan kapasitas besar untuk melayani trafik OTT keluar negeri, tetapi karena kebutuhan masyarakat tinggi dan kapasitas pemain lokal juga terbatas maka perlu ongkos lebih besar.

"Di sisi ini OTT kontribusi ke operator, jadi tidak ada yang dibebani ke masyarakat, justru dengan begini [kerja sama OTT dan pemain lokal] masyarakat tetap bisa menikmati layanan tanpa ada perubahan,” kata Jerry. 

Tiru China

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Zulfadly Syam  berpendapat nilai tawar Indonesia terhadap OTT asing masih rendah. Indonesia, lanjutnya, dapat meniru China yang mampu melakukan aksi nyata untuk filterisasi dan memaksa OTT asing tunduk pada aturan yang diberlakukan pemerintahnya.

Ilustrasi bendera China dan AS
Ilustrasi bendera China dan AS

Selain itu, China juga mempersiapkan substitusi layanan OTT asing. Sementara itu Indonesia, menurutnya, belum menaruh perhatian besar dalam penciptaan aplikasi pengganti Whatsapp, Telegram, dan lain sebagainya. 

“Kita mampu, hanya saja perhatian pemerintah untuk menciptakan iklim riset dan inovasi untuk OTT sangat minim, bahkan tidak ada," ungkap Zulfadly.

Agar OTT asing dan pelaku usaha telekomunikasi nasional memiliki kesetaraan, Zulfadly meminta agar pemerintah dapat menata ulang regulasi telekomunikasi di Indonesia.

Pemerintah memiliki kewajiban untuk membenahi infrastruktur internet di Indonesia. Jika pemerintah tak membenahinya, maka yang akan dirugikan adalah masyarakat Indonesia secara luas.

"Jangan ada lagi jargon 'seleksi alam', yang mampu akan berkembang dan yang tidak mampu akan tutup dengan sendirinya. Kondisi yang kondusif ini harus diciptakan oleh pemerintah. Karena telekomunikasi merupakan sektor strategis yang harus dijaga pemerintah guna kepentingan nasional," ujar Zulfadly.

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami