Bisnis.com, JAKARTA— Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Desy Ratnasari mempertanyakan transparansi algoritma pada platform digital global seperti TikTok, Facebook (Meta), dan YouTube.
Menurut Desy, layanan tersebut selama ini memanfaatkan algoritma tanpa pengawasan yang jelas, tidak seperti lembaga penyiaran konvensional yang diawasi secara ketat.
“Jadi tidak ada standar konten layak tayang. Bahkan konten-konten penipuan itu banyak masuk di situ,” kata Desy dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran bersama perwakilan dari platform digital: Google, YouTube, Meta, dan TikTok di Komisi I DPR RI, Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Dia membandingkan kondisi itu dengan lembaga penyiaran konvensional yang memiliki pengaturan dan pengawasan yang sangat ketat.
Di sisi lain, platform digital justru belum menjamin perlindungan privasi dan keamanan data pengguna. Padahal, dalam model bisnis mereka, data menjadi komoditas utama.
Desy juga menyinggung soal ketimpangan kewajiban antara penyedia layanan digital dan lembaga penyiaran konvensional. Menurutnya, karena tidak menggunakan spektrum frekuensi publik, platform layanan jadi tidak terikat pada Undang-Undang Penyiaran.
“OTT karena sifatnya entitas lintas batas, dia tidak menggunakan spektrum frekuensi publik, tidak terikat pada kewajiban Undang-Undang Penyiaran,” katanya.
Hal tersebut , lanjutnya, dapat merugikan penyiaran lokal yang selama ini diwajibkan memenuhi berbagai standar isi, etika, dan kontribusi budaya. Dia menilai tidak adanya level playing field menyebabkan ketimpangan yang nyata, tidak hanya dalam aspek regulasi, tetapi juga dalam kontribusi fiskal.
“Platform digital global meraih pendapatan besar dari iklan dan langganan, sementara proporsi kontribusi kepada sistem penyiaran nasional atau fiskal negara ini tidak kita ketahui, berapa sih?” ungkapnya.
Desy juga mempertanyakan besaran pajak yang telah dibayarkan oleh para platform global tersebut. Menurutnya, dominasi algoritma platform seperti TikTok, Meta, dan YouTube telah menciptakan kekuatan gatekeeping digital tanpa akuntabilitas hukum.
Selain itu, dia menilai dominasi konten asing juga berpotensi melemahkan budaya dan identitas nasional. Desy juga menanyakan komitmen Meta dalam mendukung literasi digital dan upaya melawan disinformasi. Dia juga meminta penjelasan terkait mekanisme transparansi algoritma yang digunakan dalam menampilkan konten berita dan politik.
Desy juga mempertanyakan persentase konten trending yang berasal dari kreator lokal dan kemungkinan penerapan kuota konten lokal seperti di Kanada. Untuk TikTok, Desy meminta penjelasan terkait kebijakan moderasi konten dan transparansi distribusi algoritma.
“Mengapa TikTok belum membuka akses kepada pemerintah terkait moderasi konten dan distribusi algoritmanya?” katanya.
Dia juga menagih komitmen TikTok dalam mempromosikan budaya lokal Indonesia di platformnya. Desy pun menyimpulkan bahwa tantangan utama saat ini terletak pada ketidakseimbangan regulasi akibat pergeseran dari teknologi analog ke digital.
Menurutnya, regulasi saat ini belum mampu mengimbangi perkembangan teknologi, meskipun fungsi komunikasi dan distribusi informasi antara platform digital dan lembaga penyiaran konvensional sejatinya serupa.
“Ketidakseimbangan regulasi karena pergeseran teknologi dari analog lalu sekarang digital. Ini tentu membuat regulasi yang ada itu memang belum bisa catch up dengan teknologi yang baru,” tuturnya.
Saat ini, DPR tengah melalukan pembahasan Revisi UU Penyiaran untuk menyesuaikan regulasi penyiaran dengan perkembangan zaman, termasuk tantangan dari media baru dan platform digital.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno Laksono mengatakan revisi UU Penyiaran sudah dimulai sejak 2012. Namun sampai dengan hari ini belum juga kunjung selesai. Pihaknya pun menargetkan supaya revisi tersebut rampung pada periode tahun ini.
“Kami memang menargetkan diperiode ini akan segera rampung,” katanya.
Namun demikian, Dave mengatakan pihaknya belum membuat rangkaian jadwal yang ditetapkan untuk proses penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan revisi undang-undang tersebut. Dave menjelaskan draf RUU Penyiaran belum dibagikan ke publik karena masih mengalami sejumlah perubahan.
Dia menyebut, draf tersebut telah berubah tiga kali, salah satunya karena adanya aturan induk yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Beberapa ketentuan yang sebelumnya dimuat dalam RUU Penyiaran, seperti soal multiflexing, akhirnya diatur dalam UU Cipta Kerja.
“Masih ada substansi yang juga tak kalah pentingnya yang kita putuskan di RUU Penyiaran ini,” katanya.