ChatGPT Lemahkan Kemampuan Manusia dalam Berpikir Kritis, Ini Studinya

Pernita Hestin Untari
Kamis, 19 Juni 2025 | 14:59 WIB
Warga menunjukan aplikasi ChatGPT di Jakarta, Jumat (10/2/2023). Bisnis/Abdurachman
Warga menunjukan aplikasi ChatGPT di Jakarta, Jumat (10/2/2023). Bisnis/Abdurachman
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Studi Massachusetts Institute of Technology (MIT) Media Lab mengungkap temuan baru terkait penggunaan ChatGPT dalam aktivitas belajar dan menulis. 

Melansir laman TIME pada Kamis (19/6/2025) penelitian tersebut menunjukkan penggunaan alat berbasis kecerdasan buatan seperti ChatGPT dapat menurunkan keterlibatan otak serta melemahkan kemampuan berpikir kritis, terutama pada generasi muda.

Dalam studi tersebut, 54 partisipan berusia 18 hingga 39 tahun dari wilayah Boston dibagi ke dalam tiga kelompok. Mereka diminta menulis esai SAT dengan tiga metode berbeda yakni menggunakan ChatGPT, menggunakan mesin pencari Google, dan tanpa bantuan teknologi apa pun. 

Aktivitas otak mereka direkam dengan elektroensefalogram (EEG) yang memantau 32 area otak. Hasilnya menunjukkan kelompok pengguna ChatGPT memiliki tingkat keterlibatan otak terendah dan menunjukkan performa yang lebih buruk secara linguistik, perilaku, maupun neurologis dibanding dua kelompok lainnya.

Seiring berjalannya waktu, para pengguna ChatGPT dalam studi ini terlihat semakin malas dalam proses menulis. Menjelang akhir studi, sebagian besar hanya menyalin hasil dari ChatGPT tanpa berusaha mengolahnya kembali. 

Hasil tulisan mereka dinilai sangat mirip satu sama lain, menggunakan frasa yang sama dan minim pemikiran orisinal. Dua guru Bahasa Inggris yang menilai esai tersebut menggambarkannya sebagai datar dan tidak menunjukkan kedalaman pemahaman. Aktivitas otak mereka juga menunjukkan rendahnya kontrol eksekutif dan fokus.

Sebaliknya, kelompok yang menulis tanpa bantuan teknologi justru menunjukkan aktivitas otak paling tinggi. Mereka tampak lebih kreatif, lebih tertarik pada topik yang dibahas, serta lebih puas dan merasa memiliki terhadap hasil tulisannya. 

Ilustrasi orang mengakses ChatGPT
Ilustrasi orang mengakses ChatGPT

Sementara itu, kelompok yang menggunakan Google Search juga menunjukkan tingkat kepuasan tinggi dan keterlibatan otak yang aktif.

Para partisipan kemudian diminta menulis ulang salah satu esai yang sudah mereka buat sebelumnya, tetapi kali ini kelompok pengguna ChatGPT tidak boleh lagi menggunakan alat tersebut. 

Hasilnya, mereka kesulitan mengingat isi esai yang mereka tulis sebelumnya. Aktivitas gelombang otak mereka menunjukkan lemahnya proses ingatan yang seharusnya terbentuk saat menulis. 

Sebaliknya, kelompok yang sebelumnya menulis tanpa bantuan teknologi dan kini diperbolehkan menggunakan ChatGPT justru menunjukkan peningkatan konektivitas otak yang signifikan.

Temuan ini menunjukkan bahwa AI berpotensi mendukung proses belajar, asalkan digunakan secara tepat dan tidak menggantikan peran berpikir manusia.

Studi ini masih dalam tahap pra-tinjau sejawat (pre-review), tetapi penulis utama Nataliya Kosmyna memilih untuk merilisnya lebih awal karena khawatir dampaknya terhadap anak-anak yang kini mulai menggunakan AI untuk tugas sekolah. 

Dia menegaskan otak yang sedang berkembang adalah kelompok paling rentan terhadap dampak negatif penggunaan AI secara berlebihan.

“Yang membuat saya terdorong untuk mempublikasikannya sekarang, sebelum peer-review selesai, adalah kekhawatiran akan adanya kebijakan seperti Chat GPT untuk TK dalam beberapa bulan ke depan. Itu akan sangat berbahaya,” kata Kosmyna.

Psikiater anak dan remaja Dr. Zishan Khan turut menegaskan hal ini. Menurutnya, ketergantungan pada AI bisa mengganggu proses perkembangan kognitif, melemahkan kemampuan untuk mengakses informasi, mengingat fakta, hingga menurunkan ketahanan mental.

Menariknya, saat paper ini dirilis, banyak pengguna media sosial langsung menggunakan Large Language Model (LLM) seperti ChatGPT untuk meringkas dan menyebarkan isi laporan tersebut. 

Namun, Kosmyna mengaku sudah mengantisipasi hal ini dan sengaja menanam jebakan dalam papernya, seperti arahan khusus kepada AI untuk hanya membaca bagian tertentu. 

Hasilnya, banyak ringkasan AI yang keliru, bahkan menyebutkan bahwa studi ini menggunakan GPT-4o, padahal tidak ada versi ChatGPT yang disebutkan secara eksplisit dalam laporan tersebut. Kosmyna dan timnya kini tengah mengerjakan studi lanjutan terkait dampak penggunaan AI dalam bidang pemrograman. 

Hasil awalnya, menurut dia, justru lebih mengkhawatirkan. Jika perusahaan menggantikan pemrogram pemula dengan AI, bisa saja efisiensi meningkat, tetapi berisiko menurunkan kapasitas berpikir kritis dan kreativitas pekerja lainnya.

Studi-studi ilmiah mengenai dampak AI memang masih tergolong baru. Sebuah studi dari Harvard pada Mei lalu menyebutkan AI dapat meningkatkan produktivitas, tetapi juga menurunkan motivasi. 

Sementara MIT sempat menarik diri dari keterlibatan dalam paper lain yang menyebut AI dapat secara drastis meningkatkan produktivitas tenaga kerja.

Hingga kini, OpenAI belum memberikan tanggapan atas hasil studi ini. Sebelumnya, perusahaan ini bersama Wharton pernah menerbitkan panduan untuk para pendidik dalam menggunakan AI secara optimal di bidang pendidikan.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper