Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani aturan "Take It Down Act" yang melarang penyebaran gambar intim tanpa persetujuan, termasuk konten deepfake dan pornografi berbasis kecerdasan buatan (AI).
Aturan baru ini juga mewajibkan platform media sosial dan situs daring untuk menghapus konten tersebut dalam waktu 48 jam setelah menerima permintaan dari korban.
Take It Down Act menetapkan bahwa siapa pun yang dengan sengaja mempublikasikan atau mengancam akan mempublikasikan gambar atau video intim tanpa izin-baik asli maupun hasil rekayasa AI-dapat dikenai sanksi pidana berupa denda, penjara hingga tiga tahun, dan restitusi kepada korban.
Selain itu, platform digital yang tidak patuh terhadap permintaan penghapusan dapat dikenai tindakan tegas oleh Federal Trade Commission (FTC).
"Ini adalah undang-undang federal pertama untuk memerangi penyebaran gambar eksplisit tanpa persetujuan korban," ujar Trump dikutip dari Techcrunch, Selasa (20/5/2025).
Dalam seremoni penandatanganan di Gedung Putih, didampingi Ibu Negara Melania Trump turut hadir.
Melania menegaskan segala bentuk kejahatan terhadap anak, termasuk melalui AI, harus ditindak tegas.
"Kesejahteraan anak-anak adalah fondasi masa depan bangsa. Kita tidak akan mentolerir eksploitasi seksual daring."
Undang-undang ini mendapat dukungan luas lintas partai, lolos di DPR dengan suara 409-2 dan di Senat secara aklamasi.
Senator Ted Cruz (R-Texas) dan Amy Klobuchar (D-Minn.) menjadi penggagas utama, terinspirasi oleh kasus remaja yang menjadi korban deepfake eksplisit dan lambatnya respons platform digital untuk menghapus konten tersebut.
Take It Down Act mengatur bahwa platform yang menyediakan konten buatan pengguna wajib menyediakan sistem pelaporan dan penghapusan yang mudah diakses korban atau perwakilannya.
Jika ada permintaan sah, konten harus dihapus dalam 48 jam, termasuk upaya untuk menghapus duplikat yang tersebar di platform lain. Kegagalan memenuhi kewajiban ini dianggap pelanggaran serius dan dapat memicu sanksi dari FTC.
Meski disambut positif oleh banyak pihak, sejumlah organisasi hak digital dan kebebasan berekspresi menilai aturan ini terlalu luas dan berpotensi memicu sensor berlebihan.
Electronic Frontier Foundation (EFF) dan kelompok advokasi lain memperingatkan bahwa tenggat waktu 48 jam dan penggunaan filter otomatis bisa menyebabkan penghapusan konten legal, termasuk karya jurnalistik, dokumentasi protes, atau konten edukatif yang salah dilaporkan sebagai pelanggaran.
Selain itu, mereka menyoroti risiko terhadap privasi dan enkripsi end-to-end jika platform dipaksa memantau percakapan pribadi.