Bisnis.com, JAKARTA — PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk. (EXCL) nama baru entitas hasil merger dengan Smartfren (FREN) akan berfokus menjaga pertumbuhan di seluruh segmen pelanggan mulai dari anak muda hingga kelas menengah atas.
Perusahaan ingin rerata yang dibukukan per pelanggan atau ARPU dalam kondisi prima. Pascamerger dengan FREN, EXCL bakal mengelola tiga merek berbeda yakni XL, Axis, dan Smartfren.
Direktur EXCL David Arcelus Oses mengatakan setiap merek akan difokuskan pada segmen pelanggan tertentu, termasuk dalam hal proposisi nilai, saluran distribusi, dan strategi go to market.
"Sebagai contoh, saat XL dan Axis bergabung di masa lalu, Axis difokuskan pada segmen anak muda, sementara XL menargetkan keluarga kelas menengah atas," ujarnya beberapa waktu lalu saat ditanya mengenai masa depan ARPU.
Pada 2024, EXCL mencatatkan kenaikan pelanggan sebanyak 1,3 juta pelanggan menjadi 58,8 juta pada 2024.
Selain itu, XL juga mengalami kenaikan ARPU. EXCL berhasil mendapatkan ARPU gabungan sebesar Rp43.00 pada 2024. Angka ini naik Rp2.000 dibandingkan dengan tahun 2023 yang hanya menembus angka Rp41.000.
ARPU EXCL sebesar Rp43.000 pada 2024 merupakan campuran dari pengguna prabayar dan pascabayar. Dalam laporan tersebut, pelanggan prabayar XL menyumbang Rp41.000 dan pelanggan pascabayar menyumbang Rp91.000.
Sementara itu pada Januari 2025, CEO Smartfren Andrijanto Muljono mengatakan nantinya produk XL dan Smartfren akan berjalan bersamaan. Tidak ada produk yang ditutup setelah merger terlaksana.
Secara merek, XL Axiata dan Smartfren akan menggarap seluruh segmen pasar. Namun, spesifik untuk produk layanannya akan memiliki pembagian segmen dengan besaran kuota yang ditentukan bersama.
Sebagai contoh, untuk produk seharga Rp50.000 per bulan, XL dan Smartfren masing-masing akan mengeluarkan produk tetapi dengan besar giga yang telah disepakati agar tidak saling merugikan atau menghindari ‘kanibalisme’ di mana dua produk perusahaan saling ‘memakan’ di pasar yang sama.
“Kalau produk yang satu toxic atau murah sekali maka akan rugi dan semuanya turun. Tetapi bahwa mereka akan pindah dari Rp50.000 menjadi Rp100.000, itu tidak apa-apa,” kata Andrijanto kepada Bisnis.
Diketahui, pada akhir September 2024, jumlah pelanggan XL Axiata mencapai 58,6 juta, sedangkan Smartfren mencapai 34,7 juta. Jika digabungkan, jumlah pelanggan kedua perusahaan ini mencapai 93,3 juta. Jutaan pelanggan tersebut diraih dari masing-masing produk anggalan keduanya.
Andrijanto mengatakan secara produk, rerata pendapatan per pelanggan yang dibukukan (ARPU) Smartfren hakikatnya sangat besar karena jaringan Smartfren tidak ada di semua tempat. Sebagai contoh, di Jawa Tengah, perusahaan sangat kuat.
“Jika kami hanya mengukur di Jawa Tengah, ARPU kami tinggi,” kata Andrijanto.
Andrijanto mengatakan bagi pelanggan Smartfren merger kedua perusahaan memberi angin segar karena jaringan makin luas. Penggabungan layanan membuat para pelanggan dapat terhubung dengan jaringan Smartfren di manapun mereka berada.
Cakupan layanan yang makin luas dan ketersediaan jaringan internet yang makin lebar menjamin konektivitas yang mereka terima tetap prima.
“Pelanggan Smartfren menikmati, sementara itu untuk pelanggan XL Axiata agar tetap optimal, bisa disiasati dengan menambah kapasitas karena ada 30% jaringan kami yang redundansi. Jaringan yang redundansi akan dialihkan untuk memperluas jaringan, meningkatkan kapasitas,” kata Andrijanto.
3 Juta Pelanggan per Bulan
Andrijanto menambahkan perusahaan baru juga akan mesin pemasaran Smartfren yang militan, yang bernama Smartfren Gadget Specialist (SGS). Jumlah SGS saat ini sebanyak 4.000 orang yang bertugas untuk melayani dan mengalihkan masyarakat menjadi pelanggan Smartfren, baik itu berasal dari pelanggan operator lain maupun masyarakat yang baru pertama kali membeli gawai.
SGS ditempatkan di konter-konter smartphone besar yang tersebar di seluruh Indonesia. Andrijanto menilai SGS cukup efektif dalam menarik pelanggan baru. Dia mengeklaim dalam 1 bulan, SGS dapat merangkul 3 juta pelanggan baru dengan target harian yaitu 100.000 pengguna baru.
“Aktivitas di jalur online tidak sampai 1% setiap tahunnya. Masyarakat kita 99% sudah punya nomor, mereka datang untuk top up. Ketika dilayani, petugas SGS ini kemudian mengadvokasi dan mencoba untuk mengalihkan. Kami sebut ini AFA Strategy ( availability feasibility dan advocacy). 1 bulan kita bisa 3 juta,” kata Andrijanto.
Andrijanto menuturkan alasan Smartfren hanya memanfaatkan 4.000 petugas SGS disebabkan jumlah outlet yang mungkin untuk dipasangkan SGS hanya 4.000 outlet. Smartfren tidak menempatkan SGS di outlet-outlet kecil karena ongkos yang akan dikeluarkan akan lebih besar dan kurang menguntungkan secara bisnis.