Ilmuwan Temukan Virus Raksasa di Greenland, Diklaim Berdampak Perbaiki Perubahan Iklim

Redaksi
Selasa, 11 Juni 2024 | 15:50 WIB
Foto udara asap membumbung tinggi dari kebakaran lahan gambut di Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Senin (18/9/2023). Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera menerjunkan 9 regu Manggala Agni dari Daops OKI, Lahat, Muba, Banyuasin dan Jambi untuk melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di wilayah tersebut. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Foto udara asap membumbung tinggi dari kebakaran lahan gambut di Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Senin (18/9/2023). Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera menerjunkan 9 regu Manggala Agni dari Daops OKI, Lahat, Muba, Banyuasin dan Jambi untuk melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di wilayah tersebut. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Terletak di antara Samudra Arktik dan Atlantik, Greenland mempunyai banyak bongkahan es yang menyimpan banyak misteri. Baru-baru ini ilmuwan asal Arktik bernama Laura Perini menemukan virus raksasa yang terkandung dalam alga. Virus ini diklaim memiliki pengaruh untuk memperbaiki iklim.

Dalam jurnal American Institute of Biological Sciences, alga pada struktur es antartika memang telah menjadi perhatian banyak peneliti karena berperan mengubah warna gunung es dan bongkahan es yang selama ini terapung.

Alga biasanya berada di dalam celah bagian bawah yang berjarak beberapa senti dari lapisan keras. Pada jurnal tersebut membagi beberapa kelompok alga berdasarkan lapisannya yaitu, es salju, es infiltrasi, dan es lumpur.

Dilansir Live Science, kali ini sebuah virus raksasa yang menginfeksi alga memiliki ukuran mencapai 1.500 kali lebih besar dibanding virus pada umumnya.

Laura mengatakan virus ini juga menyerang ganggang mikroskopis untuk mengubah warna es Greenland menjadi lebih gelap. .

“Kami tidak tahu banyak tentang virus ini, tapi saya pikir virus ini bisa berguna sebagai cara untuk mengurangi pencairan es yang disebabkan oleh pertumbuhan alga,” kata Laura, dikutip Selasa (11/6/2024).

Para peneliti telah menjelajahi berbagai tempat di lapisan es Greenland ada tahun 2019 dan 2020, dengan mengumpulkan sampe es gelap, salju merah, dan lubah leleh.

Kemudian DNA dari sampel itu dianalisis untuk mengidentifikasi rangkaian gen yang memiliki potensi kemiripan dengan virus raksasa.

“Baik di es gelap maupun salju merah, kami menemukan tanda-tanda virus raksasa yang aktif, dan ini adalah pertama kalinya virus tersebut ditemukan di permukaan es dan salju yang mengandung mikroalga berpigmen dalam jumlah besar,” lanjutnya.

Laura mengatakan penemuan ini cukup mengejutkan karena virus raksasa pertama kali ditemukan pada tahun 1981, di permukaan tanah, daratan, ganggang hijau, hingga manusia.

“Beberapa tahun yang lalu semua orang mengira wilayah ini tanda dan tidak ada kehidupan. Namun saat ini kita tahu bahwa beberapa mikroorganisme hidup di sana termasuk virus raksasa,” ujarnya, dilansir science daily.

“Ada keseluruhan ekosistem yang mengelilingi alga. Selain bakteri, jamur berserabut, dan ragi, ada protista yang memakan alga. Berbagai spesies jamur yang menjadi parasit, dan virus raksasa yang kami temukan, yang menginfeksi mereka,” lanjutnya.

Meski begitu, tim Laura masih terus melakukan penelitian mendalam terhadap virus raksasa tersebut untuk mengetahui lebih banyak terkait gen aktif yang berpotensi memperbaiki, mereplikasi, menyalin, dan menerjemahkan DNA.

“Kami terus mempelajari virus raksasa untuk mempelajari lebih lanjut tentang interaksi mereka dan apa sebenarnya peran mereka dalam ekosistem.
Akhir tahun ini kami akan merilis penelitian ilmiah lainnya yang berisi lebih banyak informasi tentang virus raksasa yang menginfeksi mikroalga budidaya yang tumbuh subur di permukaan es. Lapisan es Greenland,” pungkasnya.

Perhatian peneliti terhadap perubahan iklim bukan tanpa sebab. Diberitakan euronews.com, lapisan es di wilayah Arktik berkurang lebih cepat dan diperkirakan es akan mencair secara keseluruhan pada tahun 2040.

Hal ini disebabkan suhu global yang terus meningkat sehingga menciptakan cuaca ekstrim, mempengaruhi stabilitas pangan, terancamnya kehidupan masyarakat pesisir, pelepasan gas metana dari lapisan es, dan kelangkaan satwa. (Muhammad Sulthon Sulung Kandiyas)

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Redaksi
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper