Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat telekomunikasi menilai penggabungan PT XL Axiata Tbk. (EXCL) dan PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN), jika benar terjadi, berisiko melahirkan oligopoli. Kabar merger ini kembali berhembus setelah sempat 1 tahun tak terdengar.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi berpendapat persaingan usaha antar-operator seluler saat ini, yang berjumlah 4 operator, sebenarnya lebih longgar dibandingkan dengan 3-5 tahun lalu saat jumlah operator masih 5. Adapun jika jumlah operator dikurangan lagi menjadi 3 operator, dia khawatir tercipta oligopoli.
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan suatu komoditas yang hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan. Persaingan sangat ketat dan hanya dilandaskan pada sedikit pemain.
“Harus diwaspadai jumlah pemain yang sedikit itu oligopoli, karena 3 pemain akan menguasai pasar Indonesia. Ini jadi domain KPPU, agar persaingan tetap terjadi baik dari sisi harga, cakupan dan kualitas,” kata Heru kepada Bisnis, Jumat (29/3/2024).
Dia juga kurang setuju dengan pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi yang menyatakan bahwa urusan merger sepenuhnya berada di tangan operator seluler karena bersifat business to business (B2B).
Menurut Heru, pemerintah memiliki andil besar dalam mendorong merger khusunya perihal kepastian sumber daya terbatas seperti spektrum frekuensi dan nomor pelanggan.
“Merger memang B2B tetapi pemerintah tidak bisa lepas tangan sepenuhnya karena ada sumber daya terbatas yaitu spektrum dan penomoran. Apakah setelah merger itu mereka dikurangi, atau dikembalikan,” kata Heru.
Untuk diketahui, saat ini XL Axiata mengoperasikan 45 MHz untuk uplink dan 45 MHz untuk downlink, total ada 90 MHz, dengan pita frekuensi 1,9 GHz dan 2,1 GHz digunakan untuk 5G.
XL melayani 55,9 juta pelanggan prabayar dan 1,6 juta pelanggan pascabayar.
Sementara itu Smartfren, mengoperasikan 11 MHz untuk uplink dan 11 MHz untuk downlink di pita 800 MHz, dan 40 MHz di pita 2,3 GHz, dengan jumlah pelanggan di atas 30 jutaan.
Dalam kasus merger Indosat dengan Tri Indonesia pada 2022, keduanya mengembalikan spektrum frekuensi sebesar 2x5 MHz kepada pemerintah.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan jika merujuk pada UU Ciptaker no.6/2023 merger memungkinkan dilakukannya pengalihan spektrum frekuensi (IPFR) atau cara paling murah utk mendapatkan spektrum frekuensi.
Selain itu, manfaat lain bagi keduanya adalah kemampuan finansial yang seharusnya lebih kuat, sehingga lebih siap untuk bertarung dalam lelang frekuensi.
“Selain itu secara finansial untuk menghadapi lelang frekuensi ke depannya akan lebih kuat secara finansial,” kata Ian.
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) berencana menggelar lelang spektrum frekuensi 700 MHz dan 26 GHz pada tahun ini. Saat ini perkembangan lelang tersebut masih berkutat pada pembahasan insentif di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kemenkominfo Ismail mengatakan karena itulah Kemenkominfo tengah mengupayakan untuk berkomunikasi dengan Kemenkeu secepatnya agar dapat merampungkan skema insentif 5G.
“Ini sedang komunikasi dengan Kementerian Keuangan. Saya minta minggu ini bisa ketemu dengan Pak Dirjen,” ujar Ismail saat ditemui Bisnis di Gedung DPR, Selasa (19/3/2024).