Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia disebut dapat meniru Brasil dan Selandia Baru perihal insentif untuk spektrum baru, agar pemasukan negara tetap maksimal tanpa membebani industri telekomunikasi.
Head of APAC at the GSMA Julian Gorman mengatakan bahwa harga spektrum baru merupakan salah satu isu di industri telekomunikasi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga global.
Untuk menghadapi hal tersebut, seluruh pemangku kepentingan harus duduk bersama atau meniru terobosan yang dilakukan oleh beberapa negara seperti Brasil dan Selandia Baru.
“Di beberapa negara, misalnya Brasil, Selandia Baru, dan Eropa, para pembuat kebijakan telah mengadopsi model penetapan harga spektrum baru dengan menurunkan harga sebagai imbalan atas konektivitas, cakupan, dan pembangunan infrastruktur,” kata Julian kepada Bisnis, Minggu (14/1/2024).
Dia mengatakan untuk mewujudkan hal itu persyaratan izin apa pun harus diartikulasikan dengan baik, layak dan tercermin dalam harga spektrum.
Selain itu, pemerintah dan regulator juga harus mengadopsi kerangka kebijakan dan langkah-langkah yang mendukung keberhasilan peluncuran 5G, seperti pembagian infrastruktur secara sukarela, penyederhanaan aturan Right of Way, peningkatan akses terhadap mobile backhaul, dan pengurangan pajak dan biaya sektor tertentu.
Julian mengatakan meningkatnya biaya spektrum akan membuat para operator kesulitan untuk melakukan investasi signifikan yang diperlukan untuk pengembangan 5G, yang mengakibatkan peluncuran jaringan menjadi lebih lambat, pengalaman seluler yang lebih buruk bagi konsumen, dan hilangnya peluang pertumbuhan ekonomi yang datang dari aplikasi seluler yang mendukung 5G.
Untuk mencegah hal ini terjadi, GSMA telah memberikan tiga rekomendasi penting kepada pemerintah Indonesia menjelang lelang spektrum seluler 5G yang akan datang.
Pertama, menetapkan harga cadangan yang lebih konservatif untuk lelang pita spektrum baru yang akan datang – biaya spektrum di Indonesia telah meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir, sehingga menimbulkan ancaman besar bagi pengembangan layanan seluler di masa depan.
Dengan menetapkan harga cadangan di bawah perkiraan nilai pasar, pemerintah dapat memberikan ruang untuk penemuan harga dan mengurangi risiko spektrum tidak terjual.
Kedua, meninjau peta jalan spektrum tahunan negara tersebut, dengan mempertimbangkan bagaimana parameter dalam formula saat ini dapat disesuaikan untuk memberikan insentif jangka panjang yang tepat dan menghindari kenaikan biaya yang tidak proporsional dan tidak selaras dengan kondisi pasar.
Ketiga, menyusun peta jalan spektrum yang jelas dan komprehensif untuk meletakkan landasan yang kuat bagi ekosistem seluler. Hal ini tidak hanya mempertimbangkan pita frekuensi saat ini, namun juga kebutuhan jangka panjang – khususnya untuk spektrum pita menengah.
Cara-cara tersebut telah diterapkan di beberapa negara global, seperti Brasil dan Selandia Baru.
“Pandangan ke depan ini akan memberikan kepastian yang dibutuhkan operator seluler untuk menyiapkan rencana investasi dan mengembangkan strategi untuk penerapan jaringan dan penyampaian layanan,” kata Julian.
Sebelumnya, Kemenkominfo berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di sektor digital.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo Ismail menyatakan telah menyiapkan sejumlah alternatif insentif untuk penyelenggara layanan telekomunikasi atau operator seluler sesuai arahan Menkominfo Budi Arie Setiadi.
"Kalau ada insentif, masyarakat bisa menikmati layanan lebih berkualitas, tetapi di sisi lain Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bisa berkurang. Kami harus menghitungnya secara prudent, secara hati-hati," jelasnya.
Setelah Program Analog Switch Off (ASO) selesai, saat ini spektrum frekuensi radio 700 MHz (low band) sudah bersih dan dapat dilelang untuk pemanfaatan jaringan 5G.
Kemenkominfo telah melakukan kajian mengenai mekanisme insentif bagi operator seluler. Bahkan meminta masukan dari Kementerian Keuangan serta instansi lain.
"Pemerintah telah meminta masukan dari kalangan industri seluler. Kompetisi harga antar operator seluler yang terjadi selama ini ternyata mengancam keberlanjutan perusahaan seluler," tutur Dirjen SDPPI Kementerian Kominfo.