Bisnis.com, JAKARTA - Akademisi sebut High Altitude Platform Station (HAPS) atau base transceiver station (BTS) terbang baru dapat beroperasi di Indonesia 4 tahun lagi atau pada 2027. Terhambat sejumlah masalah, termasuk regulasi.
Ketua Pusat Kajian dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef Edward mengatakan saat ini Undang-Undang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi hanya mengatur tentang telekomunikasi terestrial, seluler, dan satelit. Belum ada regulasi khusus perihal HAPS.
Ian pun mengatakan BTS terbang ini paling cepat akan hadir di Indonesia sekitar 4 tahun lagi, sambil menunggu regulasi pendukung dan dukungan investor untuk membiaya HAPS, yang dinilai masih mahal.
"Paling cepat hadir 3 sampai 4 tahun, setelah peraturan undang-undang memperbolehkan, dan ada investor," kata Ian kepada Bisnis, Selasa (26/12/2023).
Menurut Ian, biaya operasional dari BTS terbang ini cukup tinggi. Operasional BTS terbang, menurut Ian, bisa mencapai 5 hingga 10 kali lipat BTS yang ada di menara. Hal ini dikarenakan ada pesawat atau pengendali yang harus mengisi daya secara berkala.
“Khusus untuk HAPS, mau dimasukkan ke mana dan harus diatur terbatas untuk penyelenggaraannya karena menggunakan frekuensi yang terbatas,” ujar Ian.
Sebagai informasi, World Radiocommunication Conference (WRC) 2023 memutuskan wahana dirgantara super atau High Altitude Platform Station (HAPS) dapat beroperasi di Indonesia dengan menggunakan empat frekuensi di pita 900 MHz, 1800 MHz, 2,1 GHz dan 2,6 GHz.
HAPS nantinya dapat mengangkut base transceiver station (BTS) 4G di ketinggian 18 km-25 Km (stratosphere) atau lebih rendah dibandingkan dengan ketinggian satelit orbit rendah, seperti Starlink, yang sekitar 550 km.
Penempatan BTS di udara ini menjadi tahap lanjut perihal pengoperasian BTS, yang selama ini cenderung diletakan di tanah dan menempel dengan menara telekomunikasi. Maka, tidak heran jika HAPS kemudian disebut sebagai BTS terbang.
Lebih lanjut, Ian juga mengatakan sebenarnya BTS terbang ini berpotensi mengganggu keamanan suatu wilayah, karena mampu memantau banyak wilayah secara sekaligus. Selain itu, BTS terbang ini juga berpotensi mengganggu batas kedaulatan angkasa untuk Indonesia.
Oleh karena itu, Ian mengusulkan sebaiknya pemilik BTS terbang ini adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Selain itu, BTS ini juga harus diawasi secara ketat dari segi pertahanan dan keamanan. Adapun Ian mengatakan pengawasan ini harus melibatkan pihak terkait.
Sebagai informasi, pada 2021 operator seluler sudah pernah menandatangani kerja sama dengan Google yang didorong oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk menerbangkan HAPS dari Google, Google Loon.
Namun, proyek tersebut berhenti di tengah jalan. Pada tahun yang sama dengan penandatanganan perjanjian, Google Loon justru tutup usia. Hak patennya pun diberikan pada Softbank, yang kini mengembangkan teknologi serupa.
Adapun Softbank baru baru ini melakukan uji coba HAPS dan berhasil memverifikasi teknologi optimasi area cakupan. Alhasil, mereka berhasil memaksimalkan kapasitas komunikasi di seluruh area komunikasi yang dicakup oleh HAPS.