Tantangan Gelar 4G
Sementara itu, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan pembangunan 4G oleh operator seluler akan mempertimbangkan kewajiban yang sudah dikomitmenkan dalam izin secara regulasi atau modern licensing.
Pembangunan 4G juga didorong oleh capex untuk sustainabilitas bisnis dan meningkatkan daya saingnya terhadap kompetitor.
Di sisi pemerintah sebagai regulator sekaligus pembina industri adalah penggelaran layanan 4G yang mencakup seluruh wilayah, baik yang layak secara komersial maupun ekonomi, maupun wilayah 3T, yang sering disebut true gap, membutuhkan subsidi khusus.
Sigit membaca tantangan ke depan dalam penggelaran 4G oleh operator seluler salah satunya adalah beban regulasi yang sangat tinggi, sudah melewati kewajaran secara benchmark best practice internasional, maupun dari perspektif sustainabilitas industri.
“Beban regulasi di Indonesia sudah masuk kelompok tertinggi di asia pasifik bahkan juga dunia,” kata Sigit.
GSMA, asosiasi yang mewadahi kepentingan operator telekomunikasi di seluruh dunia, melaporkan rasio biaya spektrum frekuensi tahunan dibandingkan dengan pendapatan seluler di Indonesia saat ini yang sebesar 12,2%, lebih tinggi dibandingkan rasio di kawasan Asia Pasifik dan global. Jumlah tersebut diprediksi mencapai 20% pada 2030.
Rasio rata-rata di kawasan APAC dan global masing-masing hanya sebesar 8,7% dan 7,0%. Penggelaran 4G ini dinilai akan maksimal jika pemerintah menekan BHP telekomunikasi yang sudah tinggi tersebut.
“Mengenai peningkatan penetrasi 5G, selain tantang beban regulasi diatas, beberapa tantangan lainnya misalnya ketersediaan frekuensi secara lengkap mid-low-high band, terjangkau dan tepat waktu sehingga use-case dapat berkembang,” kata Sigit.