Formula Perhitungan BHP Frekuensi RI Disebut Ketinggalan Zaman, Perlu Direvisi

Crysania Suhartanto
Minggu, 17 Desember 2023 | 18:35 WIB
Menara telekomunikasi pemancar sinyal internet/Dok. Mitratel
Menara telekomunikasi pemancar sinyal internet/Dok. Mitratel
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat telekomunikasi menyebut formula perhitungan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi yang dibebankan pada operator seluler sudah ketinggalan zaman.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutad menuturkan Indonesia dahulu mengikuti Hong Kong untuk menentukan biaya BHP, terutama dengan adanya upfront fee.

Regulasi penetapan BHP frekuensi itu dibuat pada 2006, masa ketika industri telekomunikasi masih dalam masa jayanya atau 17 tahun yang lalu. 

Namun, saat inipun Hong Kong sudah tidak menggunakan regulasi tersebut, melainkan menggunakan pendekatan incremental.

Pendekatan ini membuat operator tidak perlu membayar biaya BHP yang mahal pada tahun-tahun awal. Namun, ketika sudah tahun kelima ataupun enam ketika operator sudah mendapatkan hasilnya, baru dibebankan biaya BHP yang lebih tinggi.

Menurut Heru, jika biaya BHP yang bengkak ini dibiarkan terus menerus, hal ini akan berdampak kepada konsumen.  

"Tarif yang dibebankan pada konsumen dari operator telekomunikasi juga tentunya dihitung dari biaya-biaya yang dibebankan oleh pemerintah," ujar Heru kepada Bisnis, Minggu (17/12/2023). 

Selain merugikan bagi konsumen, kata Heru, formula yang sudah tidak relevan ini membuat biaya yang harus dibayarkan oleh operator menjadi cukup besar.

Heru melanjutkan, jika biaya BHP Indonesia dibandingkan dengan negara lain, angkanya juga cukup besar. 

"Kalau dihitung-hitung, jumlahnya cukup besar, jadi ini harus kita rasionalisasi kembali. Kita hitung kembali," ujar Heru.

Sebagai informasi, total biaya BHP yang harus dibayarkan perusahaan operator seluler bisa mencapai 12% dari total pendapatan dan diramal terus meningkat 20% pada 2030. Padahal, di sisi lain peningkatan pendapatan mereka juga cenderung mengalami penurunan.

Oleh karena itu, Heru mengatakan pemerintah harus mencari strategi baru untuk mendapatkan pengganti dari BHP ini yang akan menurun.

Heru pun menyarakankan pemerintah untuk mulai meregulasi platform over the top (OTT) dengan cara membebankan sejumlah biaya pada mereka.

"Banyak negara bisa kok mengambil pajak dari OTT. Pajaknya bukan PPN saja, karena PPN kan masyarakat yang bayar. Namun, ada juga pajak penghasilan mereka yang utama, kemudian PPH 21 dan PPH 23," ujar Heru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper