Bisnis.com, JAKARTA - Hasil studi Access Partnership dan ELSAM (2023) menunjukkan bahwa penggunaan kecerdasan artifisial (AI) generatif akan membuka kapasitas produksi sebesar US$243,5 miliar atau Rp3.748 Triliun di seluruh perekonomian. Jumlah tersebut setara dengan 18% dari PDB pada 2022.
Potensi besar ini menuntut adanya pengelolaan yang baik agar manfaat dari teknologi AI dapat dimaksimalkan dengan mengurangi sebanyak mungkin risiko yang mungkin terjadi. Terdapat tiga pendekatan untuk mencari keseimbangan antara potensi dan risiko teknologi ini.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Parasurama Pamungkas mengatakan sejumlah negara tengah melakukan beberapa pendekatan untuk mengatur AI. Pendekatan tersebut meliputi pendekatan teknologi, etika, dan regulasi.
Melalui pendekatan teknologi, sebuah institusi berusaha menyelesaikan dan memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh AI dengan solusi infrastruktur teknologi itu sendiri.
“Pendekatan teknologi tidak memberlakukan hukum sebagai sesuatu yang diberikan sehingga lebih ramah bagi teknologinya,” kata Parasurama dalam Forum Group Discussion (FGD) Merumuskan Kerangka Etika Bagi Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi AI.
Secara global, pendekatan teknologi untuk standar AI telah dikembangkan dengan beragam skema oleh International Organization for Standarization (ISO), Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE), International Telecommunication Union dan Internet Engineering Task Force.
Kemudian, lanjutnya, pendekatan etika yang merujuk pada teori moralitas atau sebagai teori tentang kehidupan yang baik tengah menjadi tren yang saat ini banyak dikembangkan.
Etika AI sendiri dimasukkan ke dalam sub-kategori dari etika teknologi yang berfungsi untuk merefleksikan diri ilmu komputer dan teknik, yang terlibat dalam penelitian dan pengembangan AI atau machine learning.
Pendekatan ini memberikan panduan bagi para pelaku industri melalui berbagai prinsip-prinsip yang dapat menjadi rujukan dalam proses pengembangan AI.
Terakhir, adalah pendekatan hukum. Pendekatan ini mencoba memvisualisasikan bagaimana undang-undang yang ada dan berlaku untuk AI. Berbeda dengan pendekatan etika, pendekatan ini mengandaikan kepatuhan para pelaku industri atau penyedia teknologi AI secara lebih tegas.
Pendekatan ini menimbulkan pertanyaan tentang kesesuain AI dengan hukum yang berlaku, atau sebaliknya, kesesuaian hukum yang berlaku dengan perkembangan AI.
Kompleksitas teknis AI merupakan tantangan tersendiri dalam membuktikan pelanggaran hukum. Mengingat, hukum seringkali tertinggal jauh dari perkembangan teknologi yang makin cepat dan masif.
Parasurama mengatakan banyak negara menggunakan etika sebagai tahapan awal dalam mengelola AI. Hal ini terlihat dari inisiatif yang berkembang di negara-negara Eropa, China, serta Amerika Serikat. Hampir tidak ada negara yang secara langsung menggunakan regulasi sebagai satu kerangka untuk melakukan tata kelola kecerdasan buatan, tetapi kemudian mereka menggunakan voluntary principles.
“Misalnya dalam hal penghormatan terhadap privasi dan transparansi, di awal dia menggunakan kerangka etika. Beberapa inisiatif di Amerika Serikat dan Eropa, dan lainnya, mereka menggunakan satu pendekatan yang sebenarnya merupakan soft law. Prinsip-prinsip tersebut belum dibicarakan di level hukum,” kata Parasurama.
Parasurama mengatakan bahwa saat ini AI telah menjadi topik yang dibicarakan hampir di seluruh dunia untuk menyeimbangkan manfaat dan risiko yang terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, perlu ada satu jalan tengah untuk mengatur keperluan ini melalui suatu kerangka etika.
“Sebagai tahapan awal dalam tata kelola AI, pendekatan etika menjadi format yang paling mungkin saat ini untuk tetap menjaga potensi inovasi teknologi di satu sisi, serta di sisi lain memberikan perlindungan terhadap masyarakat atas risiko-risiko yang ada,” kata Parasurama.