Bisnis.com, JAKARTA - Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.31/2023 dinilai tidak adil karena seakan sangat merugikan social commerce, atau TikTok Shop.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan persaingan usaha dalam hal harga atau predatory pricing karena barang impor tidak hanya dilakukan oleh TikTok Shop, melainkan juga e-commerce lainnya seperti Tokopedia, Shopee dan lain sebagainya.
Sayangnya, pemerintah perlawanan terhadap tersebut baru dilakukan saat social commerce masuk ke Indonesia.
“Jadi jeleklah ya ini dia konflik kepentingannya. Karena social commerce diskon gede-gedean, padahal ini dilakukan e-commerce juga,” ujar Bhima kepada Bisnis, Kamis (28/9/2023).
Merujuk pada sebuah riset lembaga independent pada 2021 atau sebelum adany TikTok, kata Bhima, sekitar 90 persen barang yang dijual di e-commerce adalah barang impor.
Alhasil, ada sekitar Rp300 triliun uang dari barang impor yang beredar di pasar e-commerce Indonesia. Dengan demikian, predatory pricing juga sudah dilakukan jauh sebelum TikTok Shop masuk ke Indonesia.
Oleh karena itu, Bhima mengatakan seharusnya pemerintah jangan mematikan social commerce, karena impor akan tetap hidup di pemain e-commerce lainnya.
Memang, dalam Permendag No. 31 Tahun 2023 sudah mengatur terkait e-commerce harus mengatur agar tetap terjadi persaingan harga yang sehat dan tidak terjadinya manipulasi harga.
Namun, Bhima berpendapat, jika hal tersebut benar terjadi, siapa yang akan melaporkannya ke regulator atau penegak hukum secara sukarela.
“Masa platform mau melaporkan diri sendiri,” ujar Bhima.
Lebih lanjut, Bhima sebenarnya mengatakan sudah pernah ada regulasi serupa sebelumnya dalam UU No. 5 Tahun 1999 terkait larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Diketahui, dalam pasal 20 undang-undang tersebut, perusahaan dilarang untuk melakukan pemasukan barang atau jasa dengan melakukan jual rugi yang dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan.
Namun, Bhima mengatakan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, selaku pihak yang bertanggung jawab untuk meregulasi hal tersebut seakan tutup mata pada bisnis e-commerce dan social commerce saat ini. “Tapi KKPUnya kan nggak kerja,” ujar Bhima.
Sebagai informasi, berdasarkan catatan Bisnis (27/9/2023), pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah menandatangani Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.31/2023.
Adapun salah satu regulasinya adalah pendefinisian model bisnis social commerce, yang mana social commerce merupakan penyelenggara media sosial yang menyediakan fitur, menu, dan atau fasilitas tertentu yang memungkinkan pedagang dapat memasang penawaran barang dan/atau jasa.
Lebih lanjut, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan model social commerce hanya boleh mempromosikan produk layaknya iklan televisi dan bukan untuk transaksi.
Pasal 21 ayat 3 menegaskan PPMSE dengan model bisnis social commerce dilarang untuk memfasilitasi transaksi pembayaran dalam sistem elektroniknya karena dinilai melakukan predatory pricing.
Kemudian, pada 2021 pernah ada lembaga survei McKinsey yang menemukan sekitar 80 persen jumlah transaksi (GMV) e-commerce di Asia Tenggara justru diimpor dari luar wilayah tersebut. Menurut laporan tersebut, sebagian besar impor berasal dari China.