Bisnis.com, SOLO - Twitter (X) kembali membuat kehebohan dengan mengizinkan kembali iklan bermuatan politik di plaftormnya.
Dalam pernyataan resmi yang diunggah di laman Twitter, media sosial milik Elon Musk itu kembali mengizinkan iklan politik, Rabu (30/8/2023).
Peraturan ini akan diberlakukan pertama kali di Amerika Serikat (AS) yang akan menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2024.
"Kami akan kembali mengizinkan iklan politik berbayar beredar di X. Hal ini akan kami lakukan pertama kali di AS, dan iklan-iklan politik tersebut akan kami izinkan beredar sesuai dengan kebijakan-kebijakan kami terkait iklan politik berbayar," tulis Twitter.
Namun demikian, Twitter mengatakan tetap akan mengawasi iklan politik yang beredar di lini masa mereka.
Twitter mengaku akan menolak iklan politik palsu, menggiring opini, mengadu domba, dan memperkeruh suasana Pemilu.
"Kami juga akan melakukan proses penyaringan iklan politik yang sangat ketat demi memastikan bahwa hanya beberapa grup atau orang tertentu saja yang bisa menyebarkan kampanye politik mereka di Twitter," tulis Twitter lagi.
Twitter belum mengumumkan kapan kebijakan terkait iklan politik ini akan berlaku dan negara mana saja yang akan mendapatkan iklan tersebut.
Peraturan baru Twitter ini dinilai kontraproduktif dengan kebijakan yang berlaku di perusahaan sejak 2019.
CEO Twitter saat itu, Jack Dorsey, melarang iklan politik beredar di aplikasi mereka. Menurutnya, pesan politik seharusnya disampaikan dengan cara yang elegan alih-alih membayar sejumlah uang untuk ditayangkan.
"Kami sangat menyadari kami adalah bagian kecil dari ekosistem periklanan politik yang jauh lebih besar. Beberapa orang mungkin berargumen bahwa tindakan kami hari ini dapat menguntungkan petahana. Namun, kami telah menyaksikan banyak gerakan sosial mencapai skala besar tanpa iklan politik. Saya percaya ini hanya akan tumbuh. Selain itu, kita membutuhkan peraturan iklan politik yang lebih berpandangan ke depan," tulis Jack Dorsey kala itu.
Twitter melarang iklan politik pada 2019 setelah calon presiden Partai Demokrat (kini Presiden AS) Joe Biden melayangkan protes atas tayangan di Facebook, Twitter, dan YouTube.
Biden merasa dirugikan dengan iklan politik tersebut dan menyebut informasi yang diberikan salah mengenai hubungan keluarganya dengan Pemerintah Ukraina.