Bisnis.com, JAKARTA – Kesadaran investor terhadap risiko yang terkandung dalam kecerdasan buatan akan menjadi penghalang bagi pertumbuhan bisnis ini ke depan. Efisiensi yang ditawarkan teknologi ini seperti pisau bermata dua.
Dikutip dari Reuters, Senin (26/6/2023) Head of European Equities AXA Investment Managers Gilles Guibout mengatakan bahwa AI tidak melulu memberikan efek positif. Ada juga kemungkinan negatif sebagai efek dari deflasi yang berpotensi terjadi.
Dalam beberapa kasus, sambungnya, klien dapat menegosiasikan pemotongan harga. Sementara itu, klien pendatang baru yang mempekerjakan staf dengan prinsip efisiensi bisa mengikis pangsa pasar pemain eksisting yang sibuk mendesain ulang proses mereka.
Dia menilai kondisi tersebut dapat mengurangi pertumbuhan penjualan dan menjadi sentimen negatif terhadap kinerja harga saham.
Terutama, perusahaan-perusahaan yang sedang menghadapi persaingan sengit atau perusahaan yang pertumbuhan pendapatannya bergantung kepada jumlah karyawan. Efisiensi AI juga dapat mendorong pada perang harga yang makin murah sesama perusahaan teknologi.
“Sebagai contoh, layanan teknologi informasi. Jika seratus orang tidak lagi diperlukan untuk pengkodean, tetapi hanya setengah atau sepertiga dari itu, maka pelanggan akan meminta harga yang lebih rendah,” kata Guibout.
Survei terbaru Bank of America yang dirilis Juni 2023 menunjukkan 29 persen investor global tidak berekspektasi AI mampu mengerek keuntungan atau Kinerja.
Kendati demikian, jumlah investor yang memiliki ekspektasi sebaliknya lebih banyak yakni, 40 persen.
Sementara itu riset McKinsey menyebut industri AI berkontribusi senilai US$7,3 triliun terhadap perekonomian dunia. Riset tersebut juga meyakini separuh dari total aktivitas pekerjaan sekarang akan berubah menjadi automasi pada rentang tahun 2030 hingga 2060.