Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pelabelan BPA pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) galon guna ulang polikarbonat atau plastik keras memicu perdebatan terkait persaingan tidak sehat di pasar.
Namun, pakar ekonomi dan bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) Tjahjanto Budisatrio justru menepis anggapan tersebut.
Sebaliknya, menurutnya, pelabelan BPA yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) itu akan membuat pasar AMDK galon lebih sehat.
“Persaingan yang sehat akan terjadi jika konsumen makin sadar akan kesehatannya,” kata dalam webinar daring, Minggu (24/4/2022).
Lebih lanjut, Tjahjanto menjelaskan pelabelan BPA akan membuat orang sadar untuk memilih, apakah dia menginginkan produk yang sudah diberi label dan mengetahui implikasi kesehatannya atau produk yang tidak mengandung BPA.
Pada saat yang sama, produsen produk yang mengandung BPA pun akan terdorong untuk memperbaiki produknya dan berinovasi untuk dapat tetap bersaing.
“Inilah kondisi yang disebut dalam dunia ekonomi sebagai contestable market dan kondisi yang kita harapkan, bahwa pasar mengarah kepada kondisi yang benar-benar bersaing secara sehat,” katanya.
Sekadar informasi, BPA sendiri merupakan bahan kimia yang menjadi bahan baku dalam proses produksi kemasan plastik keras atau polikarbonat. Dalam ratusan publikasi ilmiah, BPA disebut bisa menyebabkan sejumlah penyakit antara lain kanker dan gangguan hormonal terkait kesuburan.
Fakta ilmiah tersebut, menurutnya, menimbulkan kondisi yang dalam dunia bisnis yang disebut dengan negative externality atau kondisi munculnya dampak negatif dari aktivitas usaha. Ketika kondisi ini terjadi, pemerintah harus ikut masuk untuk memperbaikinya.
“Ini karena kondisi tersebut bisa menimbulkan kegagalan pasar atau market failure di masa depan,” katanya.
Di sisi lain, Tjahjanto menilai pasar AMDK galon di Indonesia sebenarnya relatif kurang sehat. Hal ini diakibatkan oleh adanya lock-in (penguncian pelanggan) pada produk tertentu.
Konsumen harus mendeposit sejumlah uang untuk mendapatkan galon A tetapi tidak bisa menukarnya dengan galon B jika galon A tidak ada di toko.
“Adanya lock-in dan kemudian biaya penggantian [switching cost] menciptakan rintangan untuk masuk pasar [barrier to entry], dan produsen yang melakukan lock-in secara kuantitas akan menjadi sangat dominan di dalam pasar ini,” katanya.
Oleh sebab itu, Tjahjanto mengatakan selain bertujuan mengantisipasi negative externality, pelabelan BPA bisa menjadi pintu masuk untuk menghilangkan rintangan itu.
“Masyarakat jadi bisa lebih memilih, sehingga artinya tidak ada lock-in,” ujarnya.