Bisnis.com, JAKARTA - Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Indonesia (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan beberapa hal yang menjadi penyebab molornya pembangunan Base Transceiver Station (BTS) di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Direktur Sumber Daya dan Administrasi Bakti Fadhilah Mathar mengatakan bahwa saat ini, rata-rata progres pembangunan BTS 4G Fase 1 adalah 86 persen dengan 1.900-an lokasi dari target 4.200 yang telah on air.
"Bukan hal mudah membangun infrastruktur digital di desa-desa terpencil. Beberapa persoalan yang harus dihadapi antara lain tantangan alam, persoalan logistik, transportasi, dan ketersediaan Sumber Daya Manusia [SDM], ditambah dengan situasi keamanan yang kurang kondusif di beberapa wilayah, dan juga terganggunnya supply chain perangkat akibat Pandemi Covid-19," ujar Fadhilah kepada Bisnis, Jumat (15/4/2022).
Dia memerinci, pembangunan BTS 4G yang dilaksanakan Bakti mayoritas bertempat di desa di daerah 3T yang sangat sulit dijangkau. Banyak desa yang belum memiliki infrastruktur dasar seperti jalan yang layak dan aliran listrik, sehingga pengiriman material ke lokasi BTS 4G banyak dilakukan dengan menggunakan sarana transportasi dan pengangkutan logistik yang kurang memadai.
Bahkan, sambung Fadhilah, proses distribusi material dilakukan dengan berjalan kaki dan menggunakan gerobak atau perahu-perahu tradisional untuk menyeberangi lautan atau sungai-sungai.
"Selain itu, banyaknya lokasi-lokasi pembangunan BTS terutama di wilayah pegunungan Papua yang memerlukan transportasi udara untuk sarana pengangkutan material dan peralatan, yang tidak sebanding antara jumlah material dan peralatan dengan ketersediaan transportasi udara," ucapnya.
Bukan itu saja, dia menyebut pembatasan mobilitas barang dan orang saat pandemi Covid-19 terutama saat gelombang kedua, sangat berpengaruh pada pelaksanaan aktivitas/kegiatan supply chain pembangunan BTS, dimulai dari penghentian/pembatasan kegiatan fabrikasi material sipil (terutama tower dan pagar), penghentian/pembatasan kegiatan/aktivitas logistik/pengiriman, dan pembatasan perjalanan yang berdampak pada terbatasnya akses ke lokasi pembangunan BTS.
Tak berhenti di situ, proses pengerjaan juga terhambat karena adanya pembatasan pelaku perjalanan yakni hanya yang telah divaksin yang boleh bepergian.
"Ketersediaan vaksin belum dapat diperoleh secara mudah sehingga banyak pekerja yang belum divaksin tidak dapat melakukan perjalanan ke lokasi pembangunan BTS, termasuk juga banyaknya pekerja yang terpapar oleh virus Covid-19 sehingga berakibat pada penundaan pekerjaan," tambah Fadhilah.
Faktor lainnya, lanjut dia, adalah kelangkaan pasokan microchip. Adanya kelangkaan yang terjadi secara global (global shortage) pada supply microchip, juga berdampak pada supply beberapa perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam pembangunan BTS.
Fadhilah menambahkan, proses pembangunan juga diperberat dengan terjadinya gangguan keamanan yang spesifik di Papua. Padahal, Papua dan Papua Barat merupakan lokasi dengan target pembangunan BTS paling banyak yakni mencapai sekitar 65 persen dari total BTS yang dibangun oleh Bakti di seluruh Indonesia.
"Pada 2 Maret lalu, terjadi serangan penembakan di Kabupaten Puncak yang menewaskan 8 pekerja BTS telekomunikasi. Dari insiden tersebut, pekerjaan implementasi di hampir seluruh di Propinsi Papua dihentikan atas instruksi dari otoritas di Papua," imbuhnya,