Pengamat: Masalah Kebocoran Data Tak Hanya Butuh SDM dan Teknologi, Tapi..

Rahmi Yati
Minggu, 6 Maret 2022 | 12:05 WIB
Ilustrasi perlindungan data pribadi saat belanja di toko online atau e-commerce. /Freepik.com
Ilustrasi perlindungan data pribadi saat belanja di toko online atau e-commerce. /Freepik.com
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat teknologi informasi (TI) sekaligus pakar forensik digital Ruby Alamsyah menilai Indonesia tidak hanya membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan teknologi mumpuni untuk melindungi data pribadi agar tidak bocor.

Menurutnya, ditambah dengan belum adanya Undang-undang (UU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) di Indonesia membuat kesan bahwa industri dan instansi pemerintah yang menyimpan dan mengolah data masyarakat tidak akan disanksi dalam bentuk pidana maupun perdata bila terjadi kesalahan di sistem mereka.

"Mengatasi masalah kebocoran data dibutuhkan juga kemauan yang kuat dari top level management serta implementasi yang tepat di level operasionalnya," kata Ruby, Minggu (6/3/2022).

Melihat kejadian pembobolan data selama 3 tahun terakhir dan dari modus serta teknik yang digunakan pelaku, Ruby mengatakan seharusnya industri dan instansi pemerintah bisa mendapatkan pelajaran yang luar biasa banyak dan dapat mengimplementasikan keamanan yang lebih baik agar terhindar dari kejadian serupa.

Namun sayangnya, sambung dia, kejadian serupa atau kesalahan yang mirip dari kejadian sebelumnya itu masih saja terus berulang.

"Hal ini tentu akan sangat tergantung kepada infrastruktur dan proses bisnis yang ada di masing-masing industri. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan RUU PDP dapat segera disahkan menjadi UU sehingga pemerintah dan penegak hukum dapat melakukan penegakan hukum yang sesuai dengan UU tersebut, dan diharapkan dapat menjadi titik balik dalam pelayanan dalam pengamanan data masyarakat," tutur Ruby.

Sebagai tambahan, dia menyebut sejak 2019, mulai terjadi kasus kebocoran data pribadi yang masif dan terjadinya bukan karena kesalahan individu, melainkan di titik penyimpan data dan pengolah data di industi maupun instansi pemerintah.

Ruby memerinci, kejadian itu bermula dengan bocornya data pengguna Bukalapak sebanyak 12,9 juta data di 2019, lalu data seluruh pengguna Tokopedia sebanyak 91 juta data di Mei 2020. Kebocoran juga terjadi di platform online kecil dan e-commerce kecil dengan data yang bocor berkisar 1 juta (kredit plus, bhineka, platform e-learning, dan lainnya).

Menurut dia, kejadian tersebut belum seberapa dibanding kejadian pelanggaran data yang terjadi di sistem IT BPJS Kesehatan. Sebanyak 272 juta data WNI bocor dan diperjual belikan di forum online.

"Akumulasi dari kejadian tersebut membuat masyarakat menjadi korban yang sangat luar biasa besar kerugian bila dilihat dari tingkat resikonya. Dan karena kita belum memiliki UU perlindungan data pribadi, masyarakat tidak mempunyai hak yang proper untuk meminta pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terjadi kebocoran data tersebut," imbuh Ruby.

Sementara itu sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengatakan terdapat 35 kasus kegagalan perlindungan data pribadi yang ditangani Kementerian Kominfo sejak 2019 hingga Juli 2021.

Kasus kegagalan perlindungan data pribadi itu menunjukkan perlunya peningkatan teknologi keamanan data.

"Memperhatikan kebocoran data yang cukup masif tidak ada pilihan lain, selain dengan meningkatkan teknologi keamanan atas semua penyelenggara sistem elektronik sebagai pemangku pemangku data," tegas Johnny dikutip dari akun Youtube Kemenkominfo, Minggu (6/3/2022).

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rahmi Yati
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper