Bisnis.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang telah melewati uji publik diharapkan mampu menjadi instrumen kebijakan yang menyeluruh untuk meningkatkan pelindungan data pribadi di Indonesia.
Co-Founder dan CEO VIDA Sati Rasuanto menyebut, sebagai Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE), merupakan tanggung jawab perusahaannya untuk turut membantu misi Pemerintah menciptakan ekosistem digital yang aman di Indonesia. Lewat teknologi yang dimiliki, VIDA menjamin keamanan data pribadi konsumen dan para mitra.
"Mengingat misi ini membutuhkan dukungan dari semua pihak, kami melihat urgensi penerapan aturan pelindungan data pribadi, RUU PDP, demi mengurangi risiko penyalahgunaan identitas lebih jauh dan melindungi identitas digital masyarakat," ujarnya dalam diskusi daring memperingati Hari Privasi Data Internasional, Kamis (27/1/2022).
Saat ini, lanjutnya, Peraturan Pemerintah No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019) mengatur kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk memberitahukan secara tertulis pada pemilik data pribadi apabila terjadi kegagalan dalam pelindungan terhadap data pribadi yang dikelolanya (data breach).
Nantinya, menurut Sati, RUU PDP yang sedang dibahas di DPR akan mengatur kebijakan lebih detail terkait pelindungan data pribadi. Beberapa aturan yang tertera dalam RUU tersebut menegaskan adanya kewajiban dan tanggung jawab data controller serta data processor, pembentukan pejabat Data Protection Officer (DPO), dan adanya sanksi administrasi hingga sanksi pidana bagi pelanggarnya.
Sementara itu, Plt. Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Teguh Arifiadi menyebut, RUU PDP yang kini tengah dalam tahap finalisasi antara Pemerintah dan DPR diharapkan dapat meningkatkan tata kelola sistem elektronik di Indonesia.
Teguh menjelaskan, berbagai instrumen kebijakan dalam RUU PDP disusun oleh pemerintah dengan menyertakan aturan yang efektif dalam mengurangi insiden keamanan siber dan kebocoran data pribadi.
Dalam prosesnya, Kemenkominfo berkomitmen untuk menerapkan transparansi dalam sanksi administrasi berupa denda akibat data breach. "Aturan denda atas pelanggaran prinsip PDP yang sedang kami susun ini diharapkan menjadi instrumen kebijakan yang ideal untuk pengendalian PDP di indonesia," ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Founder and Chairman Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja menyebut, ICSF melihat RUU PDP menjadi salah satu jawaban dari sisi kebijakan untuk mencegah munculnya berbagai kasus kebocoran data yang terjadi baik pada lembaga pemerintah, BUMN, hingga swasta.
Ardi menjelaskan, dunia usaha membutuhkan jaminan atas pengelolaan data pribadi yang dilakukan. Melihat contoh berbagai kebijakan terkait pelindungan data pribadi di beberapa negara, sanksi administratif berupa denda yang tengah dirumuskan Kemenkominfo ketika terjadi serangan kebocoran data, diyakini dapat mewujudkan manajemen risiko yang lebih terukur secara legal maupun keuangan bagi manajemen dunia usaha.
Ardi menyebut, UU PDP nantinya akan melengkapi kehadiran Penyelenggara Sertifikat Elektronik yang selama ini telah menjamin identitas digital masyarakat di berbagai industri.
Namun, survey Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center tahun lalu menunjukkan lebih dari 60 persen masyarakat masih belum mengetahui keberadaan RUU PDP, bahkan hanya 31,8 persen perusahaan yang mengetahuinya.
Sebelumnya, Kemenkominfo bersama Katadata Insight Center meluncurkan hasil riset bertajuk Survei Status Literasi Digital Indonesia. Survei tersebut dilaksanakan pada Oktober 2021 lalu dengan melibatkan 10.000 responden dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Literasi digital menurut Kemenkominfo mengacu pada 4 pilar utama, yaitu kecakapan pada teknologi digital, etika dalam dunia digital, tingkat keamanan digital, dan budaya menggunakan layanan atau teknologi digital.
Dari survei tersebut ditemukan Status Literasi Digital di Indonesia menempati level sedang atau cukup baik dengan indeks 3,49 dari skala 1-5. Pada pengukuran Indeks Literasi Digital 2021 tersebut, nilai kecakapan digital berapa di angka 3,44, sedangkan nilai etika di dunia digital Indonesia berapa di kisaran nilai indeks 3,53.
Adapun pilar budaya digital memperoleh nilai indeks paling tinggi yaitu 3,90, sedangkan indeks keamanan digital Indonesia menjadi pilar literasi yang paling lemah dengan nilai 3,10.
Lemahnya nilai literasi kemanan digital di Indonesia cukup ironis, karena Laporan yang dikeluarkan We Are Social pada 2021 mencatat, ada sekitar 202,6 juta pengguna internet di Indonesia, atau 73,7 persen dari keseluruhan populasi. Adapun pengguna media sosial di Indonesia menyentuh angka 170 juta orang atau 61,8 persen dari total populasi yang ada.